Film Bumi Manusia


[R I V I U   F I L M]




BUMI MANUSIA



Pada setiap novel yang angkat jadi film seringnya menuai banyak nyinyiran. Pasalnya visualisasi film yang ada dipikiran sutradara tidak bisa memenuhi ekspektasi setiap pembaca novel tersebut.



Tapi nggak tahu kenapa, menurut saya pribadi ketika baca novel yang bagus, selalu punya pikiran 'Pasti bakal bagus dibikin film nih novel'. 
Yah meskipun tahu nantinya bakal kecewa karena nggak sesuai ekspektasi. Tapi yaudahlah yaa, namanya juga film kan nggak mungkin mau memenuhi ekspektasi semua orang yang baca novelnya. Wajar juga kalau ada beberapa bagian yang hilang. Karena kadang percakapan atau adegan di dalam novel cukup sulit untuk divisualisasikan. Ya kaya Novel Bumi Manusia ini. Banyak yang bilang



"Harusnya ini bisa menggambarkan sejarah, tapi kenapa isinya jadi menye-menye dan jadi bahan ngebucin."



Pasalnya banyak bagian-bagian yang menurut pembaca penting, eh malah nggak ditampilkan. Malah didominasi adegan bucin. Misalnya saja bagian asal usul Jean Marais yang bahkan membuat air mata bergulir sewaktu membaca novelnya, malah tidak ada.



Saya sendiri, memang sedari awal nonton exited sama Nyai Ontosorohnya. Bagaimana visualisasi perempuan tegar dan progresif itu. Seorang perempuan yang merepresentasikan bahwa perempuan juga bisa berdaya, sekalipun dia itu gundik. Orang memandang kalau gundik ya lemah, tapi Nyai Ontosoroh itu amazing, ia mendobrak stigma itu. Pokoknya nggak sabar sama dialog-dialog seriusnya pas dipersidangan.



Minke dan Annelis malah nggak  jadi persoalan buat saya. Siapapun yang memerankan, Annelis tetaplah wanita yang rapuh sesuai karakternya. Demikian juga Minke. Karakternya diatur sedemikian rupa supaya persis kaya di Novel. Yah meskipun banyak yang hujat kalau Iqbal Ramadan kurang pas, kurang njaweni karena Iqbal sudah Kesunda-sundaan. Lebih pantas si A atau B yang memerankan. Bodo amatlah.



So far, setelah menonton film Bumi Manusia, saya nggak ingin banyak menghujat sutradara. Meskipun tetap aja ada rasa kecewa karena Minke nggak seperti bayangan saat membaca. Ya mungkin karena dalam diri Iqbal sudah terpatri karakter Dilan yang tengil. Sementara di sini Tirto Adi Suryo alias Minke itu harus ningrat, ada rasa kurang pas gitu. Tapi ya tetap seru-seru aja sih.



Maka seperti yang sudah saya katakan di atas film ini memang nggak banyak menampilkan sisi-sisi sejarah sih. Ya mungkin memang untuk konsumsi hiburanlah. Paling tidak dengan film, karya Pram bisa dinikmati banyak orang. Lagian, untuk ukuran film pasti berat kalau harus menampilkan semua isi novel termasuk sejarah secara lengkap. Mau menghabiskan durasi berapa jam cobak? Wong segitu aja sudah 3 jam durasinya.



Setidaknya film ini telah memperkenalkan sejarah kelam pergundikan yang pernah terjadi di tanah air. Demikian juga kehadiran Nyai Ontosoroh yang begitu idealis, tidak lemah, dan berdaya. Semua harus pandai-pandai memetik hikmah dari Film Bumi manusia. Sebaiknya juga tidak perlu merasa sombong karena sudah membaca bukunya, kemudian filmnya tidak sesuai ekspektasi. Karena ya namanya karya tentu ada kelebihan dan kekurangannya.



Saya mengapreasiasi film ini karena membayangkan betapa banyak properti yang digunakan untuk mendukung suasana kolonial. Semuanya pasti lebih ribet dibanding film-film yang genre nonsejarah. Dan sekarang tempat syutingnya akan dijadikan Museum Wonokromo.



Meskipun secara pribadi rasanya benar-benar kurang puas dengan Minke, tapi setelah membaca postingan Hanung Bramantyo di Facebook malah jadi merasa bersalah kalau mau menghujat. Kesal juga ketika orang-orang di luar sana terlalu idealis dan menghujat film ini, padahal baru nonton trailernya. Duh please nitizen don't judge film by the trailer.



Judul Film : Bumi Manusia

Produksi : Falcon

Tahun : 2019

Pereview : Ririn Erviana


0 Response to "Film Bumi Manusia"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel