Saatnya Pemuda Menjadi Pahlawan Kesejahteraan Pangan


Beberapa hari yang lalu, saya membaca sebuah artikel tentang Giethoorn. Sebuah desa di Belanda yang bersih dan tidak memiliki jalan raya. Angan saya jadi terbang jauh membayangkan hidup di sana tidak mengenal kata polusi. Rasanya memang begitu mustahil. Tapi memang, itu semua kenyataan. Desa Giethoorn merupakan desa paling bebas polusi di dunia.

Saya jadi berpikir, tinggal di desa belum menjadikan saya hidup terbebas dari polusi. Sungai-sungai di sekitar rumah saya bahkan sudah seperti aliran kopi susu. Rasanya begitu iri ketika melihat desa Giethoorn dengan sungai jernihnya yang dijadikan jalan raya.

Rasanya akan sangat berdosa sekali jika melakukan pemerataan dan memaksa masyarakat adat meninggalkan tanaman lokalnya kemudian diganti tanaman komersil. Saya berpikir itu seperti obat pereda sakit yang tidak mengobati sakit secara keseluruhan melainkan hanya sementara.

Bayangkan saja, jika tanaman lokal masyarakat adat diganti dengan tanaman komersil yang seragam. Masyarakat akan kesulitan memproduksi hasil tanamannya sendiri sebab tidak memiliki mesin. Misalnya saja sawit, padi, ataupun karet.

Kita mungkin lupa bahwa nenek moyang kita dulu, bisa makan apa saja yang mereka tanam. Seperti singkong, jagung, dan kacang-kacangan. Lalu mereka menjadikan tanaman itu sebagai makanan pokok. Tapi tanaman di Indonesia lambat laun menjadi seragam, membuat masyarakat adat mengganti tanaman lokal mereka dengan padi. Orang-orang jadi bilang “belum makan” kalau “belum makan nasi”. Padahal kebutuhan karbohidrat tidak hanya dari nasi. Bisa juga di peroleh dari umbi-umbian.

Sekarang di desa tempat tinggal saya bahkan sudah tidak ada kebun singkong, umbi, bahkan sawah. Semua sudah berganti tanaman komersil. Tetangga-tetangga saya yang hidupnya beruntung diwarisi ladang oleh orang tuanya menanam karet dan sawit. Sementara mereka yang juga beruntung, tapi tidak memiliki ladang mengadu nasibnya bekerja di kebun-kebun sawit milik perusahaan.

Sebagian besar kebutuhan sehari-hari harus dibeli dengan uang. Sebab sekitar rumah tidak nampak tanaman-tanaman lokal yang bisa diandalkan. Padahal ketika masyarakat adat menanam tanaman yang langsung bisa dimakan tentu, persoalan pangan bukanlah masalah. Mereka tak akan pusing besok makan apa. Karena tanamannya dapat langsung diolah atau bahkan diproduksi untuk di jual keluar daerah.

Saya sempat berpikir, sebenernya di desa saya dulu orang-orang menanam apa sih sebelum mengenal tanaman komersil. Kalau saja setiap rumah mempertahan tanaman yang dapat dikonsumsi setiap hari. Mungkin kehidupan kita tidak begitu darurat pangan. Misalnya saja sayur kangkung bisa tumbuh dialiran air bekas. Mungkin bayam yang ketika tumbuh bisa merajalela. Atau daun singkong yang bibitnya cukup diambil dari batang. Sekadar sayur mayur saja, kita begitu berat untuk merdeka. Memang tidak mudah.

Tapi seandainya saya jadi pemimpin, saya ingin sekali melakukan gerakan yang berpusat pada pemuda dan masyarakat desa. Bagaimanapun juga keberadaan mereka harus benar-benar disadari oleh semua kalangan sebagai pahlawan kesejahteraan pangan. Ingin rasanya membuang jauh-jauh prinsip bahwa petani bukan cita-cita yang bagus. Apa salahnya jika muda kemudian menjadi petani. Hanya karena tangannya bergelut dengan tanah bukan berarti kotor bukan?

Kesejahteraan pangan di Indonesia memang cukup mengkhawatirkan. Di negara yang katanya memiliki tanah surga ini. toh banyak pula bahan pangan yang harus impor dari luar negeri. Ibaratnya kekayaan kita ini tidak dapat dinikmati oleh bangsanya sendiri. Entah apa yang salah, kebiasaannya, mindsetnya atau memang perlu membutuhkan penggerak untuk memengaruhi masyarakat.

Peran generasi muda menjadi penting untuk mendobrak gerakan yang back to nature. Kembali mensyukuri dan berdamai dengan alam. Seperti lagu Tanam saja milik Nosstress yang liriknya “Kita harus menanam kembali, hijau saat ini dan nanti.” Kemudian membuat gebrakan sebagai unjuk pembuktian ketahanan pangan juga disadari penuh oleh generasi muda.

Ya buat apa sekolah tinggi-tinggi kemudian mau sok keren tapi tidak peka bahwa kesejahteraan pangan sejatinya bertopang pada lahan-lahan desa. Pemuda yang mindsetnya tidak ingin pulang ke desa perlahan harus dirubah. Desa bukan saja tempat untuk dirindukan saat hari raya. Tapi desa yang memiliki lahan itu merupakan lilin-lilin kecil yang menopang kebutuhan pangan masyarakat Indonesia.

10 Responses to "Saatnya Pemuda Menjadi Pahlawan Kesejahteraan Pangan"

  1. Beneer banget niih, untung mulai beberapa bulan terakhir setelah lulus kuliah dan fokus dirumah, aku mulai suka nanemin sayuran, bunga, dan apa saja yg bisa ku tanem. Ga tau kenapa rasanya miris bgt klu liat treen² sekarang yg berkembang di desa. 1 nanem sawiiit semua berbondong² nanem sawit karena harganya yg lumayan tinggi, setelah harga sawit anjlok mulai bingung dan mulai resaaah nihh petani sawit "laaah terus pie iki naseb petani sawit" ujar petani sawit. Begitu pula dg petani karet dan seterusnya. Bahkan sekarang ladang² dan sawah² yg dulunya di tanemin singkong, padi, terong, jangung dll, banyak yg di alih fungsikan menjadi kebon jeruuk.. Bayangkan saja sejauh mata memandaang kebon jeruk semua. ������ yaa ga bisa nyalahin juga aslinya, mungkin di desa-desa sini masih bnyak yg awam ttg manfaat menanam tanaman lokal, entah kurangnya sosialisasi atau yg penting ngikutin treen yg masih berkembang... Pengennya ada penggerak yg menggerakan mereka untuk mencintai tanaman lokal seperti dulu kala (kaya judul lagu awookawook). Yaa jujur saja aku sendiri klu soal tanaman ya masih awam hihi. Jd butuh orang yg bisa membimbing dan mengarahkan kami. Ehehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin dikau lah yang seharusnya jadi penggerak. Ayooo semangat terus menanam, Novi!

      Delete
  2. Teringat sebuah cerita sebuah film dokumenter ada anak desa niat kuliah hanya semata-mata agar bs belajar hukum demi mempertahankan sengketa tanah yg menjadi salah satu lumbung pangan keluarganya.



    ReplyDelete
    Replies
    1. langka sekali anak yang memiliki pendirian seperti ini. kini anak-anak seperti sulit menyadari keberadaan harta yang berharga di sekitarnya karena sudah terpapar gadget dan sosial media. ya meski tidak semua begitu.

      Delete
  3. Sangat bermanfaat kak, izin share ya.

    ReplyDelete
  4. maaksih sharingnya banyak problem ya dan perlu ada pemecahan masalahnya yang bisa mengena dan bermanfaat buat semuanya

    ReplyDelete
    Replies
    1. asli,betul banget. anak muda harus berperan pokoknya.

      Delete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel