Menjaga Kearifan Lokal Piil Pesenggiri dalam Membangun Sang Bumi Ruwa Jurai
Sumber Gambar: Beranda Inspirasi |
Masihkah terlintas dipikiran Anda, jika mendengar kata ‘Lampung’ maka kata ‘begal’ yang pertama kali muncul? Rasanya berat sekali menghilangkan stigma negatif itu. Sebagai masyarakat yang baru tujuh tahun tinggal di provinsi ini. Sebenarnya saya cukup menyayangkan akan banyaknya stigma negatif tentang Lampung.
Sebagai pendatang yang bukan orang asli Lampung. Saya selalu tertarik dengan apapun terkait Lampung. Seperti waktu saya masih mahasiswa, mendapat tugas pengabdian di Pesisir Barat, salah satu kabupaten di Provinsi Lampung. Saya sangat bersemangat belajar dengan masyarakat Lampung asli di sana.
Manurut saya, banyak sekali hal menarik yang dapat kita temui di provinsi gerbang Sumatera ini. Apalagi secara tiba-tiba saya mendapat amanah untuk mengajar bahasa Lampung di sekolah tempat saya bekerja.
Menjadi guru bahasa Lampung dengan background keilmuan yang berbeda tentu membuat saya sedikit kesulitan. Tapi, dibalik itu semua, saya menemukan banyak hal menarik dan pelajaran yang membuat saya lebih bersemangat. Mulai dari makanan tradisionalnya, warisan budayanya, sampai kearifan lokalnya.
Hari ini Lampung tidak hanya dihuni oleh masyarakat asli Lampung (ulun Lampung) saja. Wilayah provinsi yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda ini memiliki luas 35.587 km2. Provinsi ini melingkupi berbagai etnis, termasuk Jawa (60,10%), Lampung (21,9%), Sunda (10,50%), Minangkabau (3.57%), Bali (1.73%), serta etnis Tionghoa, Melayu, dan lain-lain (2.15%). Semua kelompok etnis tersebut hidup harmonis di wilayah yang dikenal dengan sebutan Sang Bumi Ruwai Jurai.
Mengajar bahasa Lampung, padahal bukan jurusan dan bukan orang asli Lampung? Bagaimana jadinya? Apalagi dengan peserta didik yang berasal dari berbagai suku juga? . Apakah membuat saya jadi asal-asalan? Tentu saya tidak ingin seperti ituApalagi saya sendiri memang sangat tertarik dengan kebudayaan Lampung ini.
Selain belajar bahasa Lampungnya, saya juga mengajak peserta didik untuk menggali potensi kearifan lokal Lampung. Ada satu cerita sejarah yang menarik dan menambah sudut pandang saya tentang orang Lampung ini.
Dalam sejarah Kolonisasi Sukadana, atau wilayah yang sekarang kita kenal dengan Kota Metro. Marga asli Lampung memberikan sebagian wilayah adatnya untuk digunakan sebagai lahan pembukaan Kolonisasi Sukadana di Metro adalah Buay Nuban. Mereka melakukan ini sebagai perwujudan nilai piil pesenggiri yang merupakan falsafah hidup orang Lampung.
Saya membayangkan betapa, ternyata orang Lampung memiliki sifat kerendahan hati sedemikian rupa. Sungguh berbeda dengan stigma negatif yang selama ini beredar. Saya juga kemudian mengingat kembali masa-masa saya menjalani pengabdian di pesisir barat dulu. Selama 40 hari kami hidup berdampingan dengan masyarakat asli Lampung. Kami akhirnya paham betapa ramah dan santunnya masyarakat asli Lampung.
Tidak heran jika sejarah menceritakan bahwa cikal bakal terjadinya kolonisasi, juga didukung oleh kemurahan hati masyarakat Lampung yang bersedia membagi ladangnya untuk ditanami oleh para kolonis yang baru datang dari Pulau Jawa.
Berkat nilai-nilai luhur yang ada dalam piil pesenggiri masyarakat yang mendiami provinsi Lampung menjadi makin beragam. Tidak heran jika ada yang menyebutkan bahwa Lampung adalah miniaturnya Indonesia.
Maka semboyan Sang Bumi Ruwa Jurai memang harus terus dibangun dipupuk agar keragaman suku dan agama yang ada di Lampung tetap hidup berdampingan secara harmonis dan tidak kehilangan identitas aslinya.
Sang Bumi Ruwa Jurai menjadi lambang dari keragaman etnis dan budaya yang ada di Lampung. Dalam bahasa Lampung, "Sang" berarti satu, "Bumi" berarti tanah, "Ruwa" berarti dua, dan "Jurai" berarti cabang atau golongan. Secara harfiah, Sang Bumi Ruwa Jurai menggambarkan wilayah yang terdiri dari beragam elemen. Selain itu, Sang Bumi Ruwa Jurai juga mencerminkan keberagaman suku, baik itu masyarakat lokal maupun pendatang.
Bayangkan jika masyarakat Lampung pada masa kolonisasi itu tidak mengenal nilai-nilai piil pesenggiri. Kemudian mereka tidak berkenan membagi sebagian ladangnya. Mungkin para kolonis yang berasal dari Pulau Jawa kesulitan memulai hidup yang baru di daerah ini.
Menurut Abdurachman Sarbini dan Abu Tholib Khalik dalam bukunya, konsep Piil Pesenggiri secara harfiah mengacu pada memiliki rasa harga diri. Namun, hal ini tidak berarti seseorang dengan mudah menunjukkan perilaku yang tidak wajar, seperti mudah marah, sombong, dan sejenisnya.
Sebaliknya, yang lebih tepat adalah bahwa seseorang diharapkan untuk bertindak dan bersikap dengan cara yang wajar agar tidak menjadi korban perlakuan yang tidak wajar, tidak manusiawi, dan tidak pantas oleh orang lain. Ini berarti individu tersebut harus menghindari tindakan yang dapat merendahkan harga dirinya di mata siapa pun, dan juga harus berperilaku dengan cara yang membuatnya dihargai dalam masyarakat.
Piil pesenggiri adalah salah satu aspek dari kearifan lokal yang memuat nilai-nilai mulia yang perlu dijaga dan dilestarikan sebagai sikap, karakter, atau pandangan hidup, serta menjadi landasan bagi hubungan sosial dalam mencapai kesetaraan dan kesejahteraan.
Piil pesenggiri sebagai sebuah pandangan hidup atau nilai-nilai luhur ulun Lampung memiliki empat unsur yang saling berkaitan.
Pertama, Bejuluk Beadek atau Khopkhama delom bekekhja, secara etimologi, Bejuluk memiliki arti memiliki nama, sedangkan Adek memiliki arti memiliki gelar. Namun, esensi dari Bejuluk Adek adalah identitas dan jati diri yang melekat pada masyarakat Lampung, dan hal ini harus dipertanggungjawabkan secara fisik dan emosional, dalam hal material dan spiritual. Bagi mereka yang sudah memiliki Juluk dan Adek, penting bagi mereka untuk menjaga moralitas yang tinggi dan menjadi contoh teladan bagi masyarakat di sekitar mereka.
Kedua, Nemui Nyimah/Bepudak Waya, Nemui memiliki arti menerima tamu, sementara Nyimah berarti memberikan sesuatu tanpa pamrih, atau bisa dikatakan sebagai sikap kerajaan. Di dalam kedua konsep ini terkandung makna pentingnya menghormati dan bersikap sopan terhadap semua anggota masyarakat, saling membantu, dan menghormati tamu. Dengan demikian, ini mencerminkan sikap hidup yang memungkinkan orang Lampung untuk berinteraksi dengan harmonis dengan masyarakat di sekitarnya.
Ketiga, Nenggah Nyappur/ Tetangah-Tetanggah, Nengah, yang berawal sebagai kata benda, mengalami perubahan menjadi kata kerja "tengah," yang berarti berada di tengah. Demikian pula, Nyappur, yang berasal dari kata benda Cappur, menjadi kata kerja Nyappur, yang berarti baur atau berbaur. Nengah Nyappur menggambarkan sikap suka bergaul, bersahabat, dan toleransi. Dalam kehidupan sosial, ini menandakan sikap terbuka terhadap lingkungan dan ramah dalam berinteraksi.
Prinsip ini juga mengandung makna kemampuan untuk berjuang dalam mengatasi berbagai masalah yang melibatkan masyarakat secara luas. Oleh karena itu, seseorang yang ingin tampil di depan umum tentu harus memiliki kualitas dan kemampuan yang tinggi, terutama dalam hal materi dan spiritual, intelektual, dan moral.
Keempat, Sakai Sambayan/Khepot delom Mufakat, memiliki arti suka tolong-menolong berdasarkan semangat kebersamaan baik dengan saudara, tetangga, maupun masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Unsur ini mewakili pentingnya jiwa sosial, gotong-royong, dan berbuat baik kepada sesama manusia, tanpa mengharapkan imbalan.
Bagi masyarakat Lampung, Sakai Sambayan menjadi pijakan utama dalam nilai-nilai dan panduan kehidupan berkelompok. Nilai-nilai ini juga dapat digunakan untuk mendorong konsep keadilan sosial yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat secara kolektif, sebagai upaya pencegahan konflik antarsuku, agama, dan sebagainya.
Melalui piil pesenggiri, masyarakat Lampung diajarkan tentang pentingnya menjaga harga diri, saling menghormati, dan bertindak dengan sopan. Konsep ini mengajarkan untuk tidak memperlakukan orang lain secara tidak wajar, tidak manusiawi, atau tidak terhormat. Dengan menerapkan piil pesenggiri, masyarakat Lampung dapat menjaga hubungan yang harmonis antara sesama anggota masyarakat, serta dengan pendatang yang hidup di tengah mereka.
Piil pesenggiri juga menjadi jembatan yang menghubungkan masyarakat dengan kekayaan budaya dan kearifan lokal yang ada dalam semboyan Sang Bumi Ruwa Jurai. Melalui pengamalan piil pesenggiri, masyarakat Lampung dapat mempertahankan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi dan adat istiadat mereka. Mereka juga dapat mewariskan pengetahuan dan kearifan lokal kepada generasi mendatang, sehingga keunikan budaya Lampung tetap terjaga dan mekar.
Selain itu, piil pesenggiri juga memiliki peran penting dalam membangun Sang Bumi Ruwa Jurai sebagai daerah yang maju dan sejahtera. Dengan menjaga keharmonisan dan kerukunan antar suku, agama, dan kelompok etnis, masyarakat Lampung dapat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya. Mereka dapat berkolaborasi dalam kegiatan ekonomi, memperluas jaringan sosial, dan saling membantu dalam mencapai kesejahteraan bersama.
Dalam membangun Sang Bumi Ruwa Jurai, menjaga kearifan lokal piil pesenggiri bukanlah tugas yang mudah, tetapi sangat penting. Diperlukan kesadaran kolektif dan komitmen dari seluruh masyarakat Lampung untuk mempraktikkan nilai-nilai piil pesenggiri dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Sang Bumi Ruwa Jurai dapat menjadi contoh nyata bagi wilayah lain, di mana keragaman budaya dan keharmonisan sosial menjadi kekuatan yang membangun dan mendorong kemajuan bersama.
Penulis: Ririn Erviana (Guru Bahasa Lampung dan Pustakawan di Cahaya Bangsa School)
Daftar Pustaka:
Kian Amboro.. Jejak Kolonisasi Sukadana 1935-1942. Lampung: AURA Publisher. 2021.
Abdurachman Sarbini dan Abu Thaolib Khalik. Budaya Lampung Versi Adat Megou Pa’ Tulang Bawang. Yogyakarta: Filsafat UGM. 2010.
Humaidi Alhudri dkk. Adat Istiadat dan Tradisi Perkawinan Masyarakat Adat Lampung. Metro: Pemerintah Daerah Kota Metro. 2020.
Mulyono. Hakim SB. 2019. Lampung : Miniatur Indonesia. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-Lampung/baca-artikel/12774/Lampung-Miniatur-Indonesia.html. Kementrian Keuangan Republik Indonesia.
Tulisan yang diposting karena tidak masuk nominasi lomba esai.
0 Response to "Menjaga Kearifan Lokal Piil Pesenggiri dalam Membangun Sang Bumi Ruwa Jurai"
Post a Comment