Diskusi Women and Environment Studies Payungi, Tentang Green Ramadan

Barangkali sudah hampir empat bulan, semenjak aku tergabung dalam komunitas perempuan dan lingkungan. Komunitas ini sering kami sebut WES Payungi, yang merupakan kepanjangan Women and Environment Studies Payungi yang diinisiasi dosen perempuan ku di Kampus. Ialah Hifni Septina Carolina, atau yang sering kupanggil Bu Hifni, suatu pagi mengajakku berdiskusi dan bergabung dalam gerakan perempuan ini.

Selama empat bulan, memang belum banyak yang kami lakukan sebagai komunitas. Tapi kami bersyukur sampai di sini rutin berdiskusi tentang isu-isu perempuan dan lingkungan. Pada waktu itu, kami membuat series diskusi bernama WADON, kamudian bergegas mengadakan Sekolah Perempuan Payungi (SPP) Volume 1 untuk mendapatkan volunteer.

Hingga sekarang, kami bersama-sama rutin mengadakan Liqo Literasi setiap sabtu pagi. Membahas tema-tema perempuan dan lingkungan. Bersama-sama saling mengingatkan tentang apa saja yang berkaitan dengan kebaikan lingkungan dan kemaslahatan. Masih kecil, tapi kami ingin usaha ini dapat menularkan energi baik kepada lebih banyak orang.

Tentu saja, menulis hasil diskusinya menjadi penting untuk menyebarkan gagasan. Agar diealektika ilmu pengetahuan tetap berjalan. Agar semakin banyak perempuan lain yang ikut menyuarakan kebaikan.Namun sebenarnya  saya cukup telat memang menulis rangkuman seperti ini.

Pada mulanya, Mbak Luckty lah yang memberi contoh mencatat isi diskusi di caption instagram dan facebook. Ia memang sangat telaten, sebagai pustakwan sekolah ia terampil mengarsipkan apa saja termasuk isi diskusi kami selama Liqo Literasi. Aku kemudian terpanggil untuk menuliskan rangkuman ini sekarang. Yah meskipun telat, paling tidak lebih baik daripada nggak sadar sama sekali.

Minggu ini Liqo Literasi nya WES berlangsung online via zoom. Kami berdiskusi tentang Green Ramadan sampai lupa waktu. Ternyata ada banyak persoalan tentang peningkatan sampah makanan selama ramadan. Kadang kita nggak merasa, tapi lewat diskusi-diskusi kecil ini jadi melek tentang hal-hal kecil yang berdampak besar.


Tanpa kita sadari, jiwa-jiwa konsumtif kita meningkat tajam saat ramadan dan menjelang idul fitri. Baik itu makanan, pakaian, maupun yang lain-lain. Sehingga industri tekstil meningkat, yang tentu saja limbahnya juga meningkat. Tanpa kita sadari, bulan suci yang penuh berkah dan kebahagiaan ini jadi kita kotori oleh napsu bukan?

Aku jadi tertohok juga ketika salah satu diantara kami, Zahwa Eza namanya,  mengatakan “Padahal puasa harusnya menahan hawa napsu. Tapi ini malah membesar-besarkan hawa napsu.”

Aku tercenung, kok kayaknya bener banget yaa. Kalau kita amati, anak-anak kecil yang sedang berlatih puasa sering ditanya oleh orang tuanya, akan berbuka puasa dengan apa. Kebanyakan dari anak kecil itu, akan menyebutkan makanan-makanan yang ia inginkan dalam kondisi ia sedang lapar dan haus. Akhirnya banyak makanan yang akan tersaji dan itu belum tentu habis.

Kita saja kalau masih siang sering merasa ingin makan ini dan itu. Tapi ketika waktu berbuka tiba, makan sedikit saja sudah kenyang. Jika dipaksa makan banyak, biasanya akan malas sembahyang tarawih.

Wah, kalau kita menyadari, yang awalnya niat kita akan memberi reward kepada anak karena sudah mau belajar puasa kok malah jadi melatihnya boros dan menuruti hawa napsu. Banyak hal ternyata luput dari pikiran kita tentang ibadah, kemuliaan ramadan, serta kebahagiaan menjelang idul fitri.

Diskusi kami kali ini semakin seru, ketika kita bicara tentang aksi-aksi sederhana untuk mengurangi sampah saat ramadan dan idul fitri. Tentu saja ini tidak mudah bagi kita semua, maka perlu memulainya dari hal-hal kecil. Seperti memasak secukupnya, membeli takjil secukupnya dan menggunakan wadah yang dapat dipakai kembali, serta berupaya menanam untuk memproduksi oksigen sendiri.

Semoga diskusi ini dapat langgeng dan berlanjut pada gerakan yang militan. Ketika kita punya mimpi sendirian mungkin akan terasa berat. Tapi jika kita bermimpi tentang kelestarian lingkungan, kemaslahatan umat, dan menebar kebaikan secara bersama tentu tidak seberat jika sendiri.

 

2 Responses to "Diskusi Women and Environment Studies Payungi, Tentang Green Ramadan"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel