Surga yang Tersembunyi di Lampung

Mentari masih mengintip malu pagi itu, hingga jarum jam menunjuk ke angka sepuluh, ia tetap bersembunyi di bawah kabut. Hari itu, Minggu, 23 Desember 2018, saat mayoritas penghuni Kota Pendidikan memilih pulang ke kampung halaman, tapi tidak dengan Aku. Masih ada beberapa kewajiban dan projek yang harus aku tuntaskan. Sejenak ku lupakan keinginanku pulang menebus segala kerinduan.

Aku melangkah dengan pasti menuju sekret beralaskan sandal jepit hijauku, dengan tatapan optimisme dan guratan senyum keyakinan memandang langit yang tak menampakkan semburat biru. Membelah jalanan yang lengang dari bisingnya sepeda motor dan warna-warni seragam anak sekolah. 

Ku lihat hanya ada seorang penjual somay di Depan Gerbang Kampusku, pertanda semua orang memang membutuhkan liburan di hari itu. Ku tatap lekat-lekat gedung kampusku yang biasanya berisik karena mahasiswa kegerahan meski berada di gedung mewah bertingkat. Tapi kini sepi tak berpenghuni. Sesaat kemudian langkahku pelan karena sadar gedung Salahudin Ayyubi sudah di depan mata, maksudku gedung UKM, atau biasa ku sebut dengan sekret.

Aku mengira sekret akan sepi karena hari libur, tapi ternyata ada beberapa adikku yang tengah menyiapkan agenda camping yang sudah direncanakan beberapa waktu  lalu. Sebetulnya aku juga andil dalam agenda mengasyikkan ini, tapi ada beberapa draf laporan yang melambai-lambai didepanku untuk dikerjakan.

Agak sangsi juga dengan keputusan mereka untuk tetap berangkat camping di hari kesepakatan itu. Mengingat semalam baru saja terjadi musibah yang menimpa Kalianda dan beberapa pesisir di Daerah Lampung. Padahal sebelum itu, mereka sudah survei tempat camping yang ciamik dan punya view yang bagus untuk melihat sunrise dan senja. Benar, itu adalah dua peristiwa yang sangat aku suka.

Tapi mendengar musibah yang melanda kawasan penghasil senja dan fajar nan indah itu, setidaknya aku berpikir barangkali agenda itu akan ditunda sehingga aku dapat mengikutinya setelah menyelesaikan tugasku. Tapi nyatanya tidak, semangat mereka yang berapi-api takkan gentar untuk tetap berangkat camping di hari itu. Beberapa alumni juga sudah menyarankan agar camping ditunda, tapi mereka malah sok kewanen (red: Kayak paling berani) berangkat ke tempat camping yang sudah direncanakan.

Tapi jadwal malah jadi berantakan karena beberapa anak magang tidak mendapat izin dari keluarganya kalau ngecamp di daerah yang sedang rawan. Bermodalkan semangat yang berapi-api itu akhirnya diputuskan untuk membelokkan haluan, yakni mengganti tempat camping di daerah yang jauh dari potensi gempa maupun tsunami.

Setelah berdiskusi panjang lebar dan membuka google untuk menemukan destinasi wisata yang tepat dijadikan tujuan camping, disepakatilah Air Terjun Ciupang yang terletak di ujung perbukitan Daerah Pesawaran. Merekapun menyebar info pindah haluan camping dan menyepakati bakda zuhur langsung on the way tempat tujuan, supaya sampai sana tidak kemalaman.

Sesaat kemudian aku sangat tergiur mendengar keputusan itu. Meskipun keinginanku yang sebenarnya adalah melihat senja emas di bibir pantai sambil menikmati angin semribit (baca: Sepoi-sepoi). Tak ayal kawan-kawan juga turut membujukku untuk ikut dalam perjalanan, karena pasti sangat mengasyikkan. Dari situlah aku mulai sadar bahwa selain bangun malam mengerjakan salat tahajud, menolak ajakan kawan untuk pergi melihat indahnya alam ciptaan Tuhan juga berat. Dengan lunglai dan perasaan hati yang senang aku akhirnya ikut camping dan menunda pekerjaan muliaku-menggarap laporan haha.

Mengingat belum melakukan survei sebelumnya, perjalanan touring ini seperti meraba jalan. Apalagi ada beberapa pengendara perempuan, sehingga naik motornya tidak bisa terlalu kencang. Kami berangkat menuju Kota Bandar Lampung melalui jalur dalam, yaitu Trikora dan tembus di Pasar Natar dan baru belok di Bandar Lampung. 

Ternyata rute yang kami pilih kejauhan, karena sebetulnya pesawaran lebih dikat diakses melalui Tegineneng yang lebih dekat dengan Metro. Alhasil perjalanan berangkat menghabiskan waktu sekitar 4 jam lebih. Sehingga adzan ashar berkumandang kami belum sampai di tempat tujuan. Oleh karenanya, berhentilah kami disebuah masjid hijau di daerah Kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran. 

Saat itu perutku sudah meronta ingin diisi karena sebelum berangkat tadi aku tak sempat makan siang karena sudah diburu-buru. Setelah salat aku meminta izin kepada rombongan untuk makan bekalku dahulu haha. Setelah menandaskan bekalku kami langsung bergegas menuju Air Terjun Ciupang, supaya tidak kemalaman nantinya.

Estimasi perjalanan akan sampai satu jam kemudian. Kami mengencangkan laju motor mengingat hari semakin gelap ditambah mendung juga bergelayut mesra menghantui perjalanan ini. Medan perjalanan yang disuguhi bukit barisan nyatanya juga menyimpan degup kencang, karena bentuknya yang berkelo dan meliuk-liuk. Aku yang saat itu sedang dalam posisi menyetir, beberapa kali memcau adrenalin karena menghapi turunan yang terjal dan tanjakan yang tinggi.

Dalam hati aku terus berucap “Sampai kapan kami harus melewati jalan ekstrem ini, aku ingin segera sampai.”

Meskipun sebenarnya aku tetap menikmati pemandangan kiri dan kanan yang berjajar bukan barisan. Semakin menanjak kami semakin dekat dengan daerah perbukitan, jalanan yang kami lintasi mulai sempit dengan pohon yang beraneka ragam.

Durian banyak sekali bergelantungan di pinggir jalan, juga kios-kios tak absen memajang jualan buah berduri ini. Aromanya yang membuat kami makin menelan air ludah dari atas motor melalui udara yang dihembuskan dari mobil pick up yang memuat durian. Barangkali inilah yang disebut surga durian. sebelumnya bagiku durian adalah buah istimewa yang belum tentu dapat kujumpai pohonnya. Tapi dalam perjalanan ini aku menyaksikan durian bergelantungan di atas dahan-dahan tinggi pohonnya

Ada hal yang perlu kalian ketahui para nekat traveller alam perjalanan ku rasa kita tidak boleh sepenuhnya percaya pada google maps, ya kami salah belokan menuruti mesin penyedia peta online ini. Beruntung ada beberapa warga yang sepertinya membaca maksud kami untuk pergi ke Air terjuan Ciupang.

“Mbak kalian mau ke Arter Ciupang ya? Wah salah jalan, aturan yang belok kanan sana,” Kata dua orang pemuda menghentikan laju motor kami.

“Wah salah ya mas, balik lagi berarti ya mas,”

“Iya mbak, balik di belokan tadi aja” Katanya lagi.

Dan ngeeeeeeng kami pun sampai di belokan menuju air terjun. Jalannya sempit sekali untuk dilintasi motor. Susana pedesaan masih asri dan kesan pertama sesampai di Curug Ciupang ini aku berpikir belum ada pengelolaan terhadap potensi wisata yang cukup besar in

Hari sudah menunjukkan pukul 5 sore lebih, sudut air terjun sudah mulai gelap dengan pepohonan rindang di sekelilingnya. Seketika aku ragu, bahwa inikah yang akan kita tuju. Salah atau tidak. Karena aku hanya menyaksikan air mengalir di bebatuan saja, bukan air yang terjun dari dataran tinggi.

Menengok kebingungan kami bersebelas yang masih berada di atas motor manyaksikan jalan buntu tak dapat dilintasi. Datanglah seorang bapak-bapak bersarung menyapa kami. Untuk kemudian aku akan menyebutnya bapak Taufik untuk memudahkan cerita ini. Kemudian bapak Taufik mengobrol dengan kawan-kawanku yang laki-laki. Sementara kami yang perempuan duduk dipinggir motor mengeluh kaki kram di sana sini akibat perjalanan melelahkan ini.

Dari diskusi singkat tadi, ternyata memang tak ada jalan lagi untuk motor menuju Air Terjun. Kami harus menitipkan motor diperumahan warga. Sebelum itu si Bapak dengan logat sundanya itu menanyakan keperluan kami datang ke Air Terjun. Mengingat hari sudah menjelang petang. Kamipun menjelaskan bahwa tujuan kami adalah camping. Sehingga datang petang pun bukan masalah.

Bapak Taufik meyarankan kami untuk melihat lokasi terlebih dahulu, baru setelah itu memutuskan untuk lanjut camping atau tidak. Keraguanku semakin bertambah, apalagi suasana di sini lumayan seram, dengan suara aliran air yang keras sekali sampai-sampai kalau kami berbicara harus menambah volume.

“Belum pernah ada memang yang menginap di arter, palingan kalau ada yang datang ya Cuma main nggak pernah ada yang camping, tapi kalau kalian yakin yaa nggak papa, nanti motornya tarok sini aja,” Tutur bapak Taufik.

Dengan yakin kami langsung mengusungi barang dan perlengakapan camping menuju air terjun. Ternyata di sana ada beberapa saung yang bisa dipakai untuk berteduh dan dua kamar mandi. Tentu ini fasilitas yang cukup bagi kami. 

Menurut keterangan bapak Taufik sebenarnya saung dan kamar mandi itu belum lama dibangun. “Itu bantuan pemerintah, dulunya mah belum ada tangga juga ke arter itu,” katanya.

Menurutku wisata itu memang belum diberdayakan dengan baik. Padahal potensinya besar sekali. Tentu selain dapat dimanfaatkan melalui Badan Usaha Milik Desa, wisata ini juga dapat mendongkrak perekonomian masyarakat jika menjadi destinasi wisata. 

Tapi namanyanya saja surga yang tersembunyi, pasti ketika sudah menjadi destinasi sudah tak menjadi surga lagi. Sebab masyarakat kita sangat sulit diedukasi dalam merawat lingkungan. Melakukan buang sampah pada tempatnya saja merupakan hal yang berat, seberat membajak sawah satu hektar.

Berhenti memikirkan itu, karena aku harus bergegas menyiapkan tempat berteduh untuk malam nanti. Segera saja Momo membentangkan beberapa banner yang sudah kami bawa di dua saung, untuk tempat istirahat perempuan dan laki-laki. Sementara yang lain bersiap salat dan beberapa ada yang mencari kayu untuk menyiapkan bara api pengusir nyamuk.

Hari sudah mulai gelap, kami masih disibukkan dengan kegiatan membuat api yang agak sulit karena kayunya basah. Semalam baru saja turun hujan dan seharian matahari tak memunculkan sinarnya. Sedangkan Momo, Ega dan Ooy sibuk memsang tenda di depan saung. Percuma membawa tenda kalau tidak dipakai katanya. 

Kami masih berkecamuk dengan asap yang semakin tebal dari tungku buatan ini. Tidak ada tanda-tanda api akan jadi, karena kayu yang basah. Tiba-tiba ada sorot senter dari arah pemukiman. Tiga laki-laki menghampiri kamu di kegelapan. 

Singkat cerita, kita tidak diperkenankan menginap di dekap Air Terjun karena dikhawatirkan ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Baik itu karena binatang buat atau karena makhluk lain yang tak kasap mata. Kami memutuskan untuk menghormati himbauan penduduk. Karena kami datang dengan baik-baik, tadak sepatutnya memaksakan kehendak.

Malam itu kami tidak jadi camping, justru menginap di rumah Bapak Taufik. Bekal yang kami bawa untuk dimasak saat camping. Kami masak di kdiaman Bapak Taufik. Bu Taufik juga begitu ramah kepada kami, barangkali karena sudah terbiasa dengan wisatawan lokal yang kerap mampir saat berkunjung di Air Terjun Ciupang.

Udara dataran tinggi begitu dingin, angin yang dihasilkan bukan lagi yang semribit tapi sudah semrobot haha. Anak perempuan tidur di dalam rumah Pak Taufik, ada yang diruang tamu dan Sebagian di Kamar anaknya yang sedang liburan tempat neneknya. Sementara anak laki-laki tidur di luar. Mengkhawatirkan memang, tapi mereka bilang kuat bertahan semalaman di luar.

Esok paginya baru kami mengeksplore Air Terjun Ciupang. Sungguh surga yang tersembunyi. Deras terjunan airnya seolah membisikkan kami betapa alam menyajikan kesegaran yang hakiki. 
Bagian Bawah
Aktivitas kami pagi itu, kedinginan dengan udara pegunungan
Sebelum mandi di bawah dinginnya air terjun, kami diperlihatkan bapak-bapak yang sedang memanen air nira. Kemudian salah satu kawanku meminta untuk dicicip. Aku juga dikasih, itulah pertama kalinya aku merasaakan nira langsung dari pohonnya. Rasanya manis tapi ada sangit-sangitnya haha.
Air Nira Asli

Setelah itu kami sungguh tidak sabar ingin segera jebur ke dalam air. Sebelum itu tentu saja kami tak lupa mengabadikan momen lewat kamera hape masing-masing. Inilah penampakan surga tersembunyi itu. Selamat menyaksikan warganet.
Air Terjun Bagian Bawah





Tampak Tangga menuju air terjun utama di Belakangku


Curug Ciupang, by Me

Air terjun Utama, Tampak di Belakangku Muli sedang merenung, haha




Saatnya Mandi di Air Terjun


Mereka betul-betul menikmati


Itulah tadi beberapa kesan singkat yang bisa ku rangkum dari surga tersembunyi yang baru ku kunjungi. masih ada beberapa kisah yang belum ku bagi, tapi rentetan cerita ini sudah cukup panjang. baiknya aku cukupkan sekian dulu. Nanti bisa di sambung lain waktu.

Salam Lestari dari Ririn Erviana. Rawatlah alam kita dengan baik supaya ank-cucu kita dapat pula menikmati keindahannya.

0 Response to "Surga yang Tersembunyi di Lampung"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel