Surat Terbuka Untuk Ibu yang Mengharapkan Menantu


Lagi-lagi memiliki anak perempuan mungkin akan selalu berbeda dengan anak laki-laki. Berbeda kebutuhannya, perkembangannya, kesukaannya dan yang belakang terasa pada hidup saya adalah perbedaan usia ideal perempuan untuk menikah. Bukan, saya bukan yang sedang memiliki anak perempuan. Tapi di sini sayalah anak perempuannya. Dan kekhawatiran ini terjadi pada ibu saya.
 
Ibu dan Bapak

Belakangan memang saya dan Ibu sering mendiskusikan sesuatu menyoal kehidupan orang dewasa. Utamanya masalah pasangan hidup. Saya berasumsi Ibu sedang khawatir terhadap anak perempuannya ini. Yang sudah sampai usia sekian belum juga mengenalkan seseorang sebagai pasangan.


saya hanya menceritakan perkembangan kuliah, hobi atau sesekali menceritakan teman laki-laki. Kebanyakan memang saya ceritakan sebagai teman, ya memang selama ini yang saya miliki sebagai laki-laki ya hanya teman. Gimana mau menceritakan gebetan kalau tak kunjung diberi kepastian? Halah malah curhat. Atas kebaikannya, kepeduliannya, kelucuannya, dan hal-hal yang dihabiskan bersama saya. Itulah yang bisa saya banggakan di depan ibu, bahwa di tanah perantauan anaknya tidak terkena sindrom aneh, karena tidak punya pacar atau justru phobia dengan laki-laki. Sampai suatu ketika ibu saya bertanya.


“Kok semua-semuanya dianggap teman? Apa nggak ada yang benar-benar suka sama kamu?”


Yaaa mak jleb donk. 

Dipikir jawab pertanyaan kaya gini gampang apa? Hasshhh.


Barangkali ibu saya adalah penganut adagium “Tidak pernah ada persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan.” Oleh karenanya, beliau punya pikiran bahwa suatu hari nanti, teman laki-laki yang sering saya ceritakan bisa saja menjadi pasangan saya. Padahal saya tidak pernah berpikir sejauh itu. Selama ini saya menikmati circle pertemanan dengan laki-laki sebagai penemuan baru. Bahwa pertemanan dengan laki-laki memberi saya banyak kesan perbedaan dengan pertemanan sesama perempuan. Maka bisa dibilang kawan perempuan selama kuliah lebih sedikit daripada kawan laki-laki. Yasudah sebatas itu.
Salah dua teman-teman laki-laki saya yang bisa dijamin mereka tidak brengsek hehe

Kadang saya khawatir juga mengenai penilaian orang lain, ketika melihat saya sering sama laki-laki. Bisa jadi orang akan mengganggap saya adalah perempuan dengan tanda kutip ‘gampangan’. saya sering nongkrong temannya laki-laki semua. Karena entah kenapa berteman dengan banyak laki-laki membuat saya merasa terlindungi. Saya juga merasa bahwa teman laki-laki saya benar-benar baik, tidak seperti laki-laki yang banyak menjadi cerita diluar sana. Bisa dibilang saya malah tidak menjumpai kebrengsekan dalam diri teman-teman laki-laki saya.


Tapi hal itu sangatlah subjektif sih. Mungkin saja ini anggapan saja secara buta, dan tidak dapat dijadikan generalisasi. Saya juga tidak bisa memastikan hati setiap manusia utamanya laki-laki. Boleh jadi luarnya baik, dalamnya seperti janji-janji gebetan yang busuk. Hehe.


Kembali lagi ke persoalan ibu saya, seorang wanita dengan tingkat kecerewetan stadium akhir dan tingkat kepo melebihi agen FBI. Ibu saya pandai sekali mengorek hal-hal rahasia tentang kehidupan asmara saya. Kadang hal itu, membuat saya seolah tetap menjadi putri kecilnya. Apa-apa selalu diarahkan, padahal seharusnya saya bisa menentukan sikap sendiri. 


Ibu saya memang terbiasa memandu saya dalam hal apapun. Semuanya. Pokoknya apapun itu. Hassshhh master of none kali ya. Kadang saya juga kagum sekali dengan beliau. Setiap saya mengeluh tentang hal-hal menyebalkan yang terjadi dalam hidup saya. Ibu saya akan memandang masalah itu kecil. 


Heran saya, padahal tidak pernah menuntaskan sekolah bahkan pendidikan dasarnya, tapi pemikirannya sudah melebihi sarjana. Maklum ibu saya mungkin sudah lulus dari beberapa universitas kehidupan.



Mungkin hari ini, ibu saya sedang berpikir, menunggu hari bahagia ketika saya diwisuda. Selain bangga dengan anaknya yang tuntas menempuh pendidikan tingginya. Ibu saya mungkin sedang berharap ada seorang pemuda akan saya kenalkan kepadanya. 


Tapi apa mau dikata, masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Anak perempuannya ini masih tetap jadi pembelajar ulung. Masih belum bosan menelan teori-teori percintaan yang bahkan belum satupun berhasil dipraktikkan. Selalu menemui gagal dan berujung patah hati tak berkesudahan.


Ibu, sabar yaa.. teriring doa-doa pada malammu yang paling rahasia. Putrimu sedang perlahan menjemput hal-hal membahagiakan. 


Hiyaaaaaa.

-Ditulis dengan rindu menjelang usia ke dua puluh satu.

0 Response to "Surat Terbuka Untuk Ibu yang Mengharapkan Menantu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel