Mereka yang Memilih Bahagia dan Tidak Mengutuk Masa Lalu


Tumbuh di tengah keluarga yang broken home kata banyak orang tidak mudah. Tapi bagiku tidak sepenuhnya begitu. Aku berusaha menjadi anak, perempuan dan manusia senormal-normalnya. Juga tidak ingin menuntut hak-hak istimewa untuk diperhatikan secara khusus oleh sanak saudara. Kabar baiknya, semesta seperti memaksa agar aku dapat hak-hak istimewa itu.

[Paman dan Bibi yang Penyayang]

Tuhan seperti sedang mengganti atau lebih tepatnya menambah perantara kasih sayangnya melalui paman dan bibiku. Bisa dibilang akulah yang paling banyak menerima kasih sayang itu dibandikan kemenakan yang lainnya.

Mereka seperti respect dengan keadaanku yang menjadi korban broken home. Sehingga aku kadang dibuat sulit membedakan, ketika mereka seperti sedang memainkan perannya layaknya orangtuaku. Memeluk, mencium, menasihati, menelpon berjam-jam, dan berkata "Sehat selalu". Suatu hari paman bilang,

"Brebes mili aku ndelokne ponakanku sing pinter-pinter tapi ra ruh gedene"

(Terharu aku menyaksikan ponakanku yang pintar-pintar tapi tak menyaksikan mereka tumbuh)

Kata salah satu paman dari ayah kandungku, Aku adalah perempuan yang membanggakan. Ia tak menerima kabar kami (aku dan adikku) karena kami tumbuh bersama Ibu dan lost contact dengan Keluarga Ayah kandungku sejak kelas 4 SD sampai Awal kuliah. 

Kira-kira sebelas tahun lamanya. Bukan waktu yang sebentar untuk merawat ingatan tentang semua keluarga Ayahku. Belakangan, Ia kerap bertanya kapan aku akan wisuda, sebab ia akan berbangga hati datang menghadiri.

Bibiku juga begitu, ia sudah seperti second mom selama aku hidup berdekatan empat tahun belakangan. Dengan sapaan "Mbak.." ia biasa memanggilku. Untuk memberi contoh anak-anaknya. 

Rutin menelpon, memberi banyak kabar tentang Ayahku yang introvert sampai bertanya masalah pacar. Tak absen ia menciumku setiap aku bertandang ke rumah atau hendak melepasku merantau kembali di Metro. Sebuah pelukan yang menenangkan dan penuh hasrat keibuan ia hadiahkan.
Second Mom
Aku tidak keberatan ketika harus menceritakan kisah ini kepada orang-orang yang baru ku kenal. Memang tidak akan ada yang mau punya keluarga yang seperti ini. Tapi apa mau dikata? Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Sepenuhnya aku menghargai kenapa ayah dan ibuku dulu harus berpisah.

Sekarang mereka sudah punya keluarga masing-masing. Dan aku merasa sudah move on lebih dari keempat orang tua ku sendiri. Sehingga aku tak ingin bertanya lebih banyak jika kedua belah pihak masih enggan bertatap muka dengan alasan yang abstrak. Dan selanjutnya, itu tidak masalah buatku untuk terus menyayangi mereka.

Maka langkah bijaksananya adalah bagaimana aku meramu semua rangkaian peristiwa ini tanpa rasa sakit dan berlarut-larut dalam masalalu. Seorang anak broken home berhak bahagia bagaimanapun keadaannya.

[Tentang Semua Hal yang Tak Perlu Disesali]

Sering kali Mbok (Ibu Ayah kandung saya) menenangkan bahwa dulu sebetulnya Ayahku punya niatan untuk merujuk ibu. Tapi saat itu, ibu saya sudah kadung menikah lagi. 

"Asline mbiyen ki arep dibaleni lo karo bapakmu, melas nduk jarene, tapi mamakmu wes kadung rabi neh."

(Sebenarnya dulu bapakmu mau merujuk mamakmu, kasian nduk katanya, tapi mamakmu sudah terlanjur menikah lagi)

Saya mengangguk sambil  tersenyum ketika mendengar itu untuk yang ke sekian kalinya. Setiap saya berkunjung ke rumah Mbok, di Batanghari, tak bosan-bosannya ia menceritakan itu lagi. 

Dan bagiku sudah tidak masalah lagi, Ayah dan Ibu kandungku akan rujuk atau tidak. Karena aku menghargai keputusan mereka, tanpa mereka merasa tertekan dengan "Kasian anak-anak". Sebab aku merasa bisa bahagia dan berbakti meskipun bentuk keluargaku berbeda.

Bagiku sifat ndemulur adalah kemewahan. Barangkali itu yang menjadi penyebab mengapa aku seperti sedang menikmati keadaan keluarga yang menurut sebagian orang menyedihkan.

Seolah-olah aku begitu bangga punya 2 ayah dan 2 ibu kepada orang lain. Dan Setiap orang yang pertama kali mendengar kisah ini, seringnya bertanya apakah bapak dan ibu tiriku baik.

Tentu aku juga tidak dapat menjawab dengan tepat. Kenapa sih harus bertanya begitu? Yang namanya ibu tiri sebaik apapun, pasti tetap kurang baik di mata anak tirinya, begitu juga sebaliknya.

Jadi ya sudahlah tak perlu lagi bertanya mereka yang tiri-tiri itu baik atau tidak. Asal hidup sudah bahagia sebagai anak yang menuju dewasa ku rasa rasa persoalan tidak perlu diperpanjang.

Aku lebih merasa keempat orang tua saya punya peran masing-masing. Ayah tiriku cerewet seperti ibu kandungku. Benar, mereka menikah saat saya duduk di kelas empat. Berarti sekarang sudah 13 tahun usia pernikahannya.

Selama tiga belas tahun itu aku sudah sangat paham kalau ayah tiriku cerewet. Dan hari ini aku ingin menerjemahkannya sebagai kasih sayang. Jadi tidak ada anggapan kecerewetan itu kategori jatah karena ia adalah ayah tiri.

Kalau Ayah kandungku, ia lebih pendiam. Boleh dibilang pemahamanku terhadap beliau memang kurang, karena aku tumbuh dan besar bersama Ayah tiri. Relasi kami sebagai anak dan ayah terbilang unik. Entah apa yang menyebabkannya. Aku menduga karena banyaknya miscomunication antara ayah kandung dan ibu kandungku.

Bahkan sampai usiaku 21 tahun kini. Rasanya hanya finansial yang selalu aku keluhkan kepadanya. Mungkin seperti dihantui rasa bersalah sebab tak menemaniku tumbuh dewasa. Ia tak pernah menolak ketika aku meminta uang.

Bahkan tidak pernah bertanya untuk apa uang itu. Paling kalau nominalnya agak besar ia akan menangguhkannya untuk memenuhi. Mungkin kalau aku ini bandelnya keterlaluan, ide gila memanfaatkan momment seperti ini tentu maknyus. 

Setiap aku berkunjung ke rumahnya, hanya dua pertanyaan template darinya.

"Teko kapan?" Dan "Uwes maem urung?"

(Datang kapan? Dan "Udah makan belum?")

Lawong, selama kuliah 4 tahun dan hidup dekat dengannya saja. Beliau tidak pernah tahu jurusan kuliahku ini apa.  

Tapi yaudahlah yaaa, yang penting sekarang sama-sama bahagia. Tidak perlu mengutuk masa lalu. Semesta punya banyak cara membuat keluargaku tidak perlu menghayal untuk kembali ke masa lalu. 

0 Response to "Mereka yang Memilih Bahagia dan Tidak Mengutuk Masa Lalu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel