Bagaimana Rasanya Menjadi Wisudawan Terbaik dan Termuda?

Seminggu terakhir, linimasa sosial media ku penuh dengan foto-foto selempang bergelar sarjana. Lengkap dengan caption panjang yang berisi syukur dan cerita singkat perjuangan masing-masing sampai akhirnya mendapat gelar.
Bagiku sendiri, hari penyematan gelar bisa dibilang agak merepotkan. Karena dengan posisi yang sudah bekerja sebagai budak birokrat, tentu aku harus pandai menyiasati jadwal dan mengambil izin di waktu yang tepat. Ya namanya juga masih bergantung pada gaji, berlomba jadi asri~~ malah nyanyi.

Sejak hari gladi yudisium tiba, aku sudah tahu jika diriku yang biasa aja ini dinobatkan sebagai peserta yudisium terbaik jurusan Pendidikan Agama Islam sekaligus menyabet gelar peserta yudisium termuda Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan di Kampusku.

Rasanya pasti bangga, mengingat hal ini memang sudah aku cita-citakan sejak awal semester dulu. Sebuah janji untuk kedua orang tuaku karena sudah memberiku akses untuk merasakan nikmatnya belajar di Perguruan tinggi. Kira-kira saat semester dua, aku memutuskan menganalisis siapa saja yang punya cita-cita yang sama denganku untuk jadi yang terbaik. Setelah dapat nama-namanya tinggal ku perhatikan terus mobilitasnya, untuk menyamakan langkah, kalau bisa sih melampaui, jangan sampai ketinggalan.

Tapi pada proses perjalanan panjang itu, ternyata ada banyak hal yang membuka mataku. Menyadarkanku dari ambisi itu. Aku mulai sadar bahwa menjadi yang terbaik yang namanya dibacakan di depan ratusan wisudawan tidak ada apa-apanya dibanding punya peran di tengah realitas sosial. Aku menambah cita-citaku tidak hanya sekadar terbaik berdasarkan jajaran nilai dan angka.

Aku mulai malas dengan aktivitas kuliah yang membosankan dan tak jauh-jauh dari melampiaskan syahwat memperoleh nilai setinggi-tingginya. Memangnya apa yang bisa dibanggakan dari menjadi orang mengagumkan dalam satu hari seperti itu? Setelah pegelaran kelulusan selesai nyatanya tetap jadi manusia biasa yang sebenarnya tak jauh berbeda dengan alumni yang lain.

Akhirnya aku memutuskan membelokkan stir. Dan tentang perolehan yang telah ku perjuangkan selama ini, tentu saja tidak ku anggap sia-sia. Tetap ku biarkan ada dan sebisa mungkin ku jaga. Perkara nanti masih menjadi yang terbaik hitung saja sebagai bonus. Karena ternyata banyak sekali hal yang belum ku mengerti. Gelas ku masih belum penuh dalam proses pencarian ilmu ini.

Maka tiba hari dimana aku mendapat gelar sarjana dan predikat terbaik termuda itu. Aku justru merasa kecil, merasa bahwa pencapaian ini belum ada apa-apanya. Karena pencapaian tertinggi dalam pembelajaran adalah menjadi manusia yang manusia. 

Dunia yang sudah renta ini tidak terlalu membutuhkan manusia pengejar IPK yang pada prosesnya saling sikut sana sini.
Kampus bagaikan hutan belantara dengan isi yang beraneka ragam. Maka tak heran jika masing-masing diri yang memasukinya memiliki tujuan yang berbeda-beda. Ada yang berambisi jadi yang terbaik, ada yang ingin belajar politik dan mencari jabatan-jabatan atas nama perwakilan mahasiswa. Ada yang sibuk memperluas relasi, bahkan ada yang sekadar mencari jodoh.

Tentang apapun itu, semoga kita tidak puas hanya karena gelar sarjana. Tapi lebih bisa melatih kepekaan terhadap apa-apa yang terjadi diligkungan kita dan menjadi lilin-lilin kecil untuk membantu pencerahan.

1 Response to "Bagaimana Rasanya Menjadi Wisudawan Terbaik dan Termuda?"

  1. Strange "water hack" burns 2lbs overnight

    More than 160000 women and men are using a simple and SECRET "liquids hack" to lose 1-2 lbs each and every night while they sleep.

    It is simple and it works all the time.

    Here's how you can do it yourself:

    1) Grab a drinking glass and fill it half glass

    2) And now learn this weight losing hack

    so you'll be 1-2 lbs thinner the next day!

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel