Lika-liku Perjalanan Hidup Pelacur dalam Novel Perempuan di Titik Nol

 “Hidup adalah ular. Keduanya sama, Firdaus bila ular itu menyadari bahwa kau itu bukan ular, dia akan menggigitmu. Dian bila hidup itu tahu kau tidak punya sengatan, dia akan menghancurkanmu.”—hal 87


Perempuan Titik Nol adalah sebuah novel bergenre feminis yang mengisahkan lika-liku perjalanan hidup perempuan yang bernama Firdaus. Ia tumbuh dengan begitu keras dan tak pernah tau siapa ayahnya. 

Sejak kecil ia sudah menerima banyak pelecehan seksual yang ketika itu ia tak tahu apa artinya. Ketika di ladang ia merasakan kenikmatan yang ia sendiri masih begitu belia untuk mendefinisikan apa namanya.

Kemudian pamannya yang menjadi Mahasiswa El-Azhar juga melakukannya pada Firdaus. Semua ia sangat mengidolakan sosok pamannya. Namun, ketika pamannya menikah dengan perempuan kaya. Firdaus semakin tak terurus karena istri pamannya tak menyukainya.

Setelah itu, Firdaus harus tinggal di asrama sekolah dan akhirnya berhasil lulus sekolah menengah dengan nilai gemilang. Namun, ketika ia kembali ke rumah pamannya, istri pamannya menjodohkannya dengan laki-laki berusia 60-an tahun yang bernama Syekh Mahmoud. 

“tak ada sesuatu dalam masa lampau atau dari masa kanak-kanak saya yang yang dapat dibicarakan, dan tak ada cinta ataupun sesuatu yang mirip dengan itu sekarang ini. Karena itulah jika ada sesuatu yang ingin saya katakan, maka itu hanyalah masa depan. Masa yang akan datang masih dapat saya lukiskan dengan warna-warna yang saya sukai.”—hal 37

Firdaus tentu sangat menderita dengan perjodohan itu. Sebab, ternyata Syekh Mahmoud adalah laki-laki tua yang sangat pelit, kerap memukul Firdaus dan ia menderita bisul di leher yang sangat bau. Firdaus yang masih berusia seperlima abad itu kemudian memutuskan kabur dari rumah suaminya yang tidak manusiawi.

Di perjalanan ia di tolong oleh seorang yang bernama Bayoumi. Semula ia adalah orang yang baik. Tapi ternyata Bayoumi tidak ada bedanya dengan Mahmoud. Ia memperkosa Firdaus bersama teman-temannya. Sungguh malang sekali Firdaus.

Perjalanan hidup Firdaus menembus pada kesadaran dan keadilan perempuan. Ia menyadari bahwa di negerinya, Kairo. Perempuan tidak pernah ada harganya. Ia menyaksikan ketika ayahnya selalu makan dengan kenyang, sementara ibu dan adik-adiknya selalu kelaparan. 

Ia menyaksikan bagaimana Pamannya memukul istrinya, yang semua itu adalah wajar. Ia merasakan bagaimana ketika menjadi istri seorang Syeikh yang berpendidikan, perilakunya sangat tidak memanusiakan perempuan.

Kemudian ia bertemu dengan perempuan bernama Sharifa. Sharifa merupakan germo. Kemudian ia mengajarkan kepada Firdaus arti kehidupan lewat kacamata pelacur dan germo. Sedikit demi sedikit setiap masalah yang dihadapi Firdaus telah membentuknya menjadi manusia yang pasif dan mati rasa. Ia telah melunturkan kepercayaannya pada semua sosok laki-laki.

“Bagaimana mungkin untuk hidup? Hidup itu begitu kerasnya.”

“Kau harus lebih keras dari hidup itu, Firdaus. Hidup itu amat keras. Yang hanya hidup ialah orang-orang yang lebih keras dari hidup itu sendiri.”

Ia tak pernah menemukan laki-laki yang memberikan keadilan kepada perempuan. Sebaliknya, laki-laki hanya memperdayakan perempuan saja. Maka ia mengatakan bahwa,

“Kini saya sadari bahwa yang paling sedikit diperdayakan dari semua perempuan adalah pelacur. Perkawinan adalah lembaga yang dibangun atas pederitaan yang paling kejam untuk kaum wanita.”—143

Dari balik sel penjara, Firdaus yang divonis gantung karena telah membunuh seorang germo-mengisahkan liku-liku kehidupannya. Dari sejak masa kecilnya di desa, hingga ia menjadi pelacur kelas atas di Kota Kairo. 

Ia menyambut gembira hukuman gantung itu. Bahkan dengan tegas ia menolak grasi kepada presiden yang diusulkan oleh dokter penjara. Menurut Firdaus, vonis itu justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebenaran sejati.

“Kebajikan saya, seperti kebajikan semua orang yang miskin, tak pernah dapat diangap suatu kualitas, atau sebuah aset, tetapi malah dianggap bagai semacam kedunguan, atau cara berpikir tolol, untuk dipandang lebih rendah lagi daripada kebejatan moral dan perbuatan jahat.—142

 “Kini saya telah belajar bahwa kehormatan memerluka jumlah uang yang besar untuk membelanya, tetapi bahwa jumlah uang yang besar tidak dapat diperoleh tanpa kehilangan kehormatan seseorang. Sebuah lingkaran setan yang berputar-putar, menyeret saya naik dan turun bersamanya.—hal 150

Novel ini menjabarkan kritik sosial yang didominasi oleh kaum laki-laki melalui kacamata kehidupan pelacur. Bagaimana kebobrokan pejabat dan modus laki-laki untuk mendapatkan keuntungannya sendiri. Sangat membuka cakrawala berpikir soal tekanan-tekanan yang diterima perempuan. Dan mungkin pada masa sekarang, banyak juga perempuan yang mengalaminya. Mereka tidak pernah benar-benar memiliki dirinya sendiri. 

(?????)

Judul : Perempuan di Titik Nol

Penulis : Nawal el - Saadawi

Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Halaman : 176

Pereview : Ririn Erviana

4 Responses to "Lika-liku Perjalanan Hidup Pelacur dalam Novel Perempuan di Titik Nol"

  1. Aku belum selesai baca buku ini, gak kuat ngebayangin penderitaan Firdaus

    ReplyDelete
    Replies
    1. Emang mengenaskan banget mbak. Tapi kalau aku bacanya malah semakin penasaran huhuh

      Delete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel