Batanghari Stroy
Semester lima memang menguras banyak tenaga. Jadwal perkuliahan yang biasanya hanya 4 atau 5 hari, tapi ini 6 hari, full sampai hari sabtu. Ditambah dengan berbagai kegiatan selingan dan oraganisasi, sepertinya pemilik raga Ririn Erviana cukup kewalahan menghadapi capek. Tapi di minggu ke-empat bulan oktober ini Alhamdulillah ada space buat nyelinap main ke Batanghari. Karena Rapat Proyeksi Kr*nika sudah dilakukan hari jumat kemarin jadi sabtu ini aku hanya kuliah sampai jam 9 dan Ngajar BTQ sampai jam 12.
Space waktu 36 jam di mulai dari sabtu siang sampai senin pagi akhirnya ku putuskan untuk sejenak meninggalkan hiruk pikuk kota Metro. Meskipun kota perjuanganku, adakalanya aku pun merasa malek (bahasa jawa: bosan). Karena aktivitas sehari-hari hanya kosan kampus, kosan kampus, perpus.
Dengan mengenadari motor matic putih mamak Seh (Ibu Tiriku) menjemput ke kosan. Tak berlama-lama aku langsung meluncur ke Batanghari untuk sejenak membuang rasa bosan dengan suasana pedesaan. Suasana mendung turut berselimut menenangkan sore itu. Sesampai di rumah Bapak aku langsung mandi dan sholat Ashar.
Tak berselang lama, setelah sholat aku memegang ponsel hijau tosca ku untuk memasang kartu paket yang ku beli di perjalanan menuju Batanghari. Iya benar, di sini hanya ada sinya 2 provider saja. Kemudian aku teringat janjiku pada Dendi (adik sepupuku yang kerja di medan) siang tadi, dia memintaku Video call, saat aku sudah sampai di Batanghari. Karena matahari sudah beristirahat memancarkan sinarnya, kami memutuskan untuk Video call besok saja.
Waktu begitu cepat berlalu, hingga azdan maghrib menggema ketika aku tengah menyantap lele goreng berteman nasi anget dan sambel. Tak menunggu makanan melorot, aku langsung berlari menuju mushola yang di inisiasi Dendi sekeluarga dan masyarakat setempat.
Perlu ku ceritakan terlebih dahulu, Beberapa waktu yang lalu di samping rumah Dendi berlangsung pembangunan mushola. Aku datang kesini juga untuk memerawani mushola yang masih baru ini hehe. Dan juga aku berencana untuk menjadikan mushola ini sebagai bahan praktik mata kuliah ilmu falak. Mengukur arah kiblat melalui bayang-bayang adalah tugas UAS Ilmu Falak, dan aku berencana menggunakan mushola ini sebagai bahannya. Aku sudah mempersiapkan semua, dan besok pagi hari minggu akan ku mulai praktiknya.
Oke kembali ke sholat magrib. Suasana pedesaan memang menyuguhkan harmoni indah yang tak dapat ku temui di Kota Metro. Keramahtamahan warga, dan tingkah polos anak-anak desa membuatku selalu exited saat berkunjung ke Batanghari. Saat jeda Azdan anak-anak kecil menyanyikan puji-pujian dengan suara yang masil cadel.
Setelah selesai sholat aku bergegas melipat mukena dan ingin segera pulang untuk istirahat. Karena aku merasa lelah kemarin PP dari Bandar Lampung dan lanjut ngajar ngaji malam harinya. Hingga pagi tadi aku sedikit ngantuk saat mata Kuliah Ilmu Falak. Tapi sepertinya rencanaku tak berjalan dengan mulus, belum selesai kulipat mukena anak-anak kecil yang pujian tadi datang mengeroyoki ku, mereka merengek untuk di ajari ngaji. MasyaAllah, aku terkesima sekali melihat tingkah mereka, padahal sebelumnya mereka ini belum pernah tau aku, apalagi kenal dengan namaku. Tapi mereka berani untuk memintaku menjadi guru ngajinya. Tanpa mempertimbangkan rencana istirahatku aku langsung dengan senang hati menerima tawaran mereka. Di sela-sela mengaji, aku berusaha mencairkan suasana dengan menanyai nama mereka dan sekolah mereka. Kemudian salah satu dari mereka balik bertanya padaku.
"Mbak jenenge sampean sopo?" Tanya anak yang ngaji pertama dengan cadel
"Mbak Ririn Erviana, Iso diceluk Mbak Ririn opo mbak Ervi," jawabku
"Mbak sampean kelas piro?" Sahut anak yang lainnya.
"Hehe mbak wis kuliah," jawabku.
"Owalah kuliah ki sarjana yo mbak," anak yang oaling besar berusaha masuk dalam obrolan.
Mendengar kata "sarjana" yang bagi mereka asing, gelak tawapun tak bisa mereka tahan lagi. Mereka bertingkah sangat polos sekali. Dari fenomena ini aku menarik sebuah analisis perbedaan anak-anak di desa Batanghari denga anak-anak di Metro yang biasa kuajari ngaji. Mereka yang tinggal di Kota menurutku kurang akrab dengan keramahtamahan, mereka juga tidak berani menegur pada orang yang belum mereka kenal. Sementara kalau anak-anak di desa justru ingin tahu jika ada orang baru di sekitar mereka. Alhasil suasana pun menjadi cair. Terimakasih Batanghari atas keramahtamahanmu.
0 Response to "Batanghari Stroy"
Post a Comment