Sekolah Tidak Mengajarkanku Petan Mak!


Memutuskan pulang kampung hanya demi mengambil KTP jadi hal yang sebenarnya sangat aras-arasen bagiku. Apalagi kesibukan kampus yang kelihatannya nggak sibuk-sibuk amat terus  mendekatkanku pada deadline tak berimbalan. Tapi mamak bersikeras menyuruhku pulang meski hanya menginap satu malam.

Yasudah, sambil mengurai rinduku yang terajut lama aku pulang. Dengan konsekuensi menguatkan badan dalam perjalanan. Bukan hal yang sulitlah, apalagi aku sudah malangmelintang dalam hal perjalanan (untuk tidak menyebutnya bosen naik bus selama empat hari empat malam).

Sampai di rumah, warung masih tutup padahal hari sudah menunjukkan pukul tiga belas. Ternyata pagi tadi hujan, jadi jam segitulah baru pulang dari ladang. Belum lama berselang setelah aku membuka kamar pengapku (karena cukup lama tak berpenghuni) ada sahutan pembeli memanggil. Ternyata beli kambil parutan (baca: kelapa untuk menyayur santan).

Belum sempat ku rebahkan badan aku langsung nyandak golok, mecah kambil, kemudian menggilingnya. Setelah selesai ku hidupkan televisi mencari sesuatu penghilang lelah, karena ponselku tak bersinyal. Sementara mamak sama bapak masih berberes diri di belakang.

Setelah mandi, mereka berdua nimbrung di depan televisi bersamaku. Perasaanku deg-degan kalau saja mamak langsung membahas acara minggatku selama 2 minggu tanpa pamit. (Kelak aku juga akan menuliskan kisahnya di blog ini, tapi sabar ya). Sebagai gantinya aku memulai obrolan dengan pembahasan yang tak menyinggung persoalan itu. Hahaa pandai kali kan.

"Mak sirahku kok guatel yo, jajal petani mak jangan-jangan aku tumo-en," Kataku.

"Halaaah mamak kesel kok malah kon metani," Tutur Mamak.

Sejurus kemudian Mamak mulai membiyak-mbiyak (baca : memilah) rambutku dan tidak menemukan sesuatu apapun yang menjadi penyebab gatal. Baik liso (baca:telur kutu), kutu, ataupun uban). Hahaahaha.

"Wong raenek opo-opone kok, rambute Mamak iki lo malahan sing njaluk petani, uwane akeh, giatel tenan," Kata Mamak

"Yawis kene mak tak cabuti uwane, ndi alate" Kataku.

"Rausah nggo alat, malah tugel uwane, moro tanganmu mbok usek-usek neng labor kui penak njabute," Kata Mamak.

Kemudian langsung saja aku mengeksekusi rambut mamak yang hitam lurus, bahkan kutu akan kepleset jika melintasinya. Beberapa helai Uban ku cabut, tentunya dengan posisi tangan yang cekidah-cekidih. Maklum aku memang tidak jago dalam hal perpetanan. Berbeda dengan anak-anak tetangga yang sedari kecil sudah diedukasi dasar-dasar sampai teknik perpetanan.

"Hoalaaah njabut uwan koyo njabut singkong to," Keluh mamak padaku

Aku cuma ketawa, "Amit mak, angel lo soale."

Mamakpun membandingkanku dengan anak tetangga yang jago petan dan sering dimintai tolong mamak untuk nyabutin ubannya.

"Koyok Patimah kae lo, lek petan ki ra kroso nyabute sampek aku ngantuk-ngantuk," Kata mamak padaku lagi.

"Yongalaah mak aku sekolah bertahun-tahun ki ra tau diwarai petan lo," Ku jawab ngasal gitu.

Hahahaa
(Foto hanya sebagai Penawar rindu)

0 Response to "Sekolah Tidak Mengajarkanku Petan Mak!"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel