Memaknai Kembali Ideologi Feminisme




Feminisme merupakan gerakan dari sebuah pemikiran yang memperjuangkan hak-hak perempuan supaya mendapat kesetaraan di mata publik. Belakangan semangat feminisme juga turut dikobarkan karena ada beberapa orang yang dirasa mendapat pelecehan. 

Seperti kasus Via Vallen di kolom komentar instagramnya maupun Kasus Baiq Nuril yang kini tetap menjadi tersangka, padahal sejatinya dia adalah korban pelecehan seksual secara verbal oleh atasannya. 

Miris memang ketika menyaksikan kasus, lalu kemudian korban malah menjadi pihak yang terpojokkan. Seolah hukum berjalan seperti pisau, yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Kaum elite seperti mendapat tempat VVIP ketika melakukan kesalahan. Hingga pelayanan dan hasil yang dikehendaki dengan mudah saja diwujudkan.

Semakin hari kriminalitas bukannya mendapat penanganan yang sepadan justru semakin menjadi benih yang tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat kita. Bukan karena hukuman yang diberikan tidak memberi efek jera, melainkan karena hukum tidak benar-benar berlaku bagi semua masyarakat sipil. 

Masyarakat belum sepenuhnya merasa aman meskipun undang-undang dan peraturan sudah banyak diterapkan. Kriminalitas berupa pelecehan seksual nyatanya masih akrab terdengar di telinga. Pencabulan juga masih menjadi hantu yang seringkali bergentayangan. 

Tentu saja sebagai masyarakat sipil kita juga harus terus menghindari terjadinya kriminalitas. Barangkali dapat dimulai dari hal-hal sederhana, seperti memperjuangkan hak-hak orang lain yang tidak diberikan sepenuhnya.
Sebagai kaum perempuan tentu saya menaruh iba dan prihatin menyaksikan saudara satu gender saya menerima perlukan tidak adil seperti itu. Tapi yang selalu berkelibat dibenak saya adalah wujud perjuangan feminisme itu sendiri.
Sebab ketika mendengar kasus perkosaan atau pelecehan seksual dalam benak saya langsung ingin bertanya bagaimana bentuk badan dan cara berpakaian si korban.
Berkali-kali saya meyakinkan diri, bahwa saya adalah penganut feminisme yang selalu membela hak-hak perempuan. Dan tak selayaknya saya memposisikan korban bersalah ketika mempertanyakan hal itu.
Hal itu mengakibatkan untuk menghindari pertanyaan serupa, kemudian korban menjadi bungkam. Menyimpan dengan rapi pelecehan yang pernah terjadi pada dirinya. Yang akhirnya membuat pelaku mengulangi perbuatannya tanpa perasaan bersalah, karena menganggap korban sebelumnya tidak mengalami gangguan yang harus mendapat perhatian. Hingga akhirnya kasus-kasus pelecehan seksual akan terus tumbuh subur diantara kita.
Sebagai pemuda yang berjenis kelamin perempuan, tentu saja saya wajib memiliki paham feminisme demi menyelamatkan nasib perempuan lain yang mendapat pelecehan.
Beberapa esai saya baca untuk meyakinkan diri, bagaimana seorang feminisme bertindak ketika melihat perempuan lain mendapat perlakuan kurang menyenangkan. Tetapi bagi saya, cara berpakaian seorang perempuan memang mempengaruhi birahi laki-laki untuk melontarkan ungkapan-ungkapan yang barangkali menyentuh tataran pelecehan seksual.
Meskipun saya juga tidak menjamin bahwa wanita yang tertutup rapat menggunakan gamis yang menjuntai tidak akan diindahkan oleh setan ketika melintasi kumpulan laki-laki. Menyadari bahwa hari ini kita berada di masa kejayaan gamis dan kesyar’i-an.
Bukan berarti mereka terlindung dari mata-mata jelalatan. Karena nyatanya menari-nari dengan gamis menjuntai diiringi lagu islami tetap menggiurkan.
Juga saya akui bahwa ada beberapa perempuan yang pakaiannya tidak syar’i-syar’i banget, tapi tidak menimbulkan orang yang melihatnya berkonotasi negatif. Barangkali itu semua, hanya masalah bentuk badan. Sebab bentuk badan perempuan memang didesign berlekuk-lekuk sehingga memiliki nilai estetika di mata laki-laki.
Dan tidak semua wanita memiliki bentuk badan yang ideal. Tentu saja ada proporsi pakaian yang dapat mengakomodasi keindahan itu. Hanya perempuan itu sendiri, yang mengerti batasan pakaian yang harus dipakainya supaya orang lain tidak ‘gemas’ ketika melihatnya. Menurut saya, inilah yang disebut feminisme dalam rangka memperjuangkan hak-hak perempuan. Bahwa perempuan juga harus memahami tubuhnya, sehingga merasa memiliki atas tubuhnya. Hingga rasa melindungi dalam dirinya lebih kuat.
Dengan tidak mengabaikan prinsip bahwa laki-laki juga harus menundukkan pandangan. Dalam artian memandang tidak sambil membayang-bayangkan. Saya pikir, cara berpakaian merupakan hal penting yang harus jadi perhatian kaum perempuan.
Saya merasa kalau saya feminis, tapi saya juga kerap memandah risih ketika melihat perempuan berpakaian kurang bahan yang menampilkan hal-hal ‘gemas’ dalam dirinya.Feminisme bukan hanya perjuangan menegakkan hak-hak perempuan dengan tujuan mendominasi.
Namun, tentu saja dengan prinsip-prinsip yang masuk akal dan manusiawi. Maksudnya ketika seorang perempuan dengan proporsi bentuk badan yang indah, bak gitar spanyol berjalan lenggak-lenggok di antara laki-laki. Kan masuk akal jika salah satu dari mereka lantas berdesir-desir dan jakunnya naik turun. Dapat juga dikatakan itu merupakan hal yang manusiawi. Sebab kita tidak tahu kadar keimanan yang fluktuatif itu sedang naik atau sedang turun.
Oleh karena itu, sebelum kita mengklaim diri sebagai aktivis feminisme alangkah baiknya jika kita mengidentifikasi hak-hak yang akan kita perjuangkan itu. Adilkah bagi semua pihak?
Kita perlu memikirkan apa yang menjadi ideologi kita benar-benar menjadi solusi terbaik atas kasus-kasus yang akrab dengan kehidupan. Teruntuk kita kaum perempuan, semoga kita senantiasa terhindar dari perlakuan kurang menyenangkan dan dapat membantu perempuan lain mendapatkan hak yang semestinya. 
 
Salam.
Penulis : Ririn Erviana

0 Response to "Memaknai Kembali Ideologi Feminisme"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel