Review Novel Ranah 3 Warna
Membaca buku yang judulnya susah ku hapal ini sungguh mengesankan. Jujur, sebelumnya aku belum membaca novel Negeri 5 Menara yang merupakan bagian dari Trilogi Novel Ahmad Fuadi. Aku justru hanya menonton filmnya. Karena itulah aku sudah mudeng ketika membaca seri buku yang kedua meski belum pernah membaca buku yang pertama.
Kisah yang disuguhkan dalam novel sangat mengisnpirasi. Mulai dari perjuangan Alif bertahan di Pondok karena sebelumnya tidak ingin sekolah Agama. Perjuangan untuk mendapat ijazzah kesetaraan dan tes masuk perguruan tinggi negeri, padahal sering diremehkan Randai (Kawan dekat Alif, sedari kecil). Kisah perjuangan saat Alif harus bertahan di Bandung, kisah pilu saat Alif harus menyaksikan ayahnya dipanggil Allah.
Bagaimanapun sosok pekerja keras seperti Alif tentu saja akan membuat banyak orang terinspirasi. Bagiku tokoh Alif barangkali memiliki banyak kesamaan denganku. Alif yang suka menulis, menjadi bagian dari kru majalah kampus, dan bermimpi dapat melanjutkan pascasarjana ku luar negeri. Ada beberapa bagian kisah yang membuatku malu. Yaitu perjuangan Alif saat belajar menulis dengan seniornya. Dengan keterbatasan fasilitas, Alif tetap semangat belajar meski harus menerima cacian dari seniornya.
Sementara aku, di zaman yang laptop sudah dimiliki setiap mahasiswa tapi belum satupun tulisan yang dapat dibanggakan. Aku jadi semakin ingin tulisanku dimuat media seperti Alif, apalagi ada honor yang menggiurkan.
Ketika aku sedang tidak punya uang dan tak berani minta kepada orang tua, aku pasti kepikiran Alif yang pernah mengalami kejadian yang sama. Saat itu, Alif mencoba banyak peruntungan untuk menghasilkan uang demi bertahan hidup di perantauan dan membiayai kuliahnya. Dengan berjualan door to door yang melelahkan, sampai ia harus berhadapan dengan preman. Yang membuatnya hampir kehilangan barang paling berharga dalam hidupnya, yaitu sepatu hitam pemberian ayahnya.
Mantra manjadda wajada, man shabara zhafira yang menjadi jargon Alif, ketika sedang dirundung pilu seolah turut memberiku energi untuk bakit kembali. Bahwa dalam sekat antara perjuangan dan kesuksesan haruslah terbentang sikap sabar yang tiada batas. Sebab antara sungguh-sunggu dan kesuksesan ada sebuah jarak yang kita tidak tahu ukurannya secara pasti. Bisa hanya sentimeter atau sampai ribuan kilometer.
“Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.”-Imam Syafii, hal. 42
“Rupanya manjadda wajada saja tidak selalu cukup. Aku hanya akan seperti badak yang terus menabrak tembok tebal. Seberapapun kuatnya badak itu, lama-lama dia akan pening dan kelelahan. Bahkan culanya bisa patah. Ternyata ada jarak antara usaha keras dan hasil yang diinginkan. Jarak itu bisa sejengkal, tapi jarak itu bisa seperti ribuan kilometer. Jarak antara usaha dan hasil harus diisi dengan sebuah keteguhan hati. Dengan sebuah kesabaran. Dengan sebongkah keihkalasan.” Hal. 135
“Betapa sesatnya aku kalau sampai bermalas-malasan. Setiap kemalasan artinya memboroskan waktu sekarang, hari ini, detik ini. Padahal tidak ada jaminan apapun bahwa besok, bahkan sedetik lagi, aku akan punya waktu yang lapang seperti sekarang. Lan tarji’ ayyamullati madhat, tak akan kembali hari-hari yang telah berlalu,” hal 164
Penggambaran Kanada oleh Alif dengan daun maple dan danau yang beku saat musim dingin juga turut menggodaku untuk bermimpi jika suatu hari melihatnya secara langsung. Aku jadi percaya bahwa di bumi bagian lain, Allah menciptakan banyak sekali keindahan yang harus disaksikan mahkluk-Nya. Untuk men-tafakkuri betapa Allah sangat besar sehingga menciptakan tempat-tempat indah yang menggetarkan decak kagum manusia.
Kisah percintaan Alif yang tragis dengan Raisa juga mengajarkan bahwa sejatinya jodoh tidak melulu orang yang kita inginkan. Meski kisahnya manis, kebersamaanya romantis, dan kenangannya tidak habis-habis ditulis, jika bukan takdirnya tetap saja akan raib dan habis. Alif justru menikah dengan sesama wartawan di Media tempat ia bekerja. Ya di masa kejayaannya Alif yang lulusan pesantren itu menjadi jurnalis. Keren pokoknya. Kawan-kawan yang berminat membaca bisa beli bukunya atau pinjam ke aku hehe.
Judul Buku: Ranah 3 Warna
Penulis: Ahmad Fuadi
Penerbit: Gramedia
Halaman: 473
Tahun Terbit: 2011
Pereview: Ririn Erviana
Penulis: Ahmad Fuadi
Penerbit: Gramedia
Halaman: 473
Tahun Terbit: 2011
Pereview: Ririn Erviana
0 Response to "Review Novel Ranah 3 Warna"
Post a Comment