Belajar Sabar dari Seorang Ayah Tiri

Tulisan ini mungkin akan jadi tulisan tentang ayah yang panjang. Karena sebelumnya aku memang belum pernah menuliskan hal-hal tentang ayah tiriku ini. Ia adalah seorang laki-laki yang menikahi ibuku sekitar tahun 2006. Melepas status janda dengan dua anak, ibuku seperti mendapat durian runtuh kata orang-orang. Dinikahi oleh bujang tiga tahun lebih muda darinya.

Saat itu, umurku masih terlampau muda untuk cepat memahami alasan orang dewasa memilih menikah, setelah melewati prahara rumah tangga yang mengakibatkan perpisahan. Tapi aku juga sudah cukup mengerti tentang keberadaan seorang ayah tiri. Laki-laki yang akan satu rumah denganku, dan mungkin berpotensi membuatku tidak nyaman, entah karena sikap atau perlakuannya—setidaknya itulah stigma yang akrab di telingaku.

Sebagai anak ingusan yang duduk di kelas empat SD, tidak jarang aku terpapar kisah-kisah menyeramkan tentang ketiri-tirian. Sepenuhnya aku sadar, bahwa aku harus bisa mandiri ketika besar nanti. Karena ku pikir, kasih sayang dari ibuku akan segera terbagi, belum lagi kalau ia punya anak dari ayah tiriku ini. Karena bagiku, memiliki adik tiri akan menjadi mimpi terburuk.


“Manusia memang kerap marah hanya karena rasa takut kehilangan kasih sayang.”

Tahun berlalu, mereka belum juga punya anak. Aku belum cukup pengetahuan mengapa dua orang yang baru menikah tidak segera punya anak. Sampai belasan tahun pernikahan dan aku mulai beranjak dewasa, akhirnya aku tahu beberapa orang memang belum beruntung untuk menimang buah hati dari rahim atau benihnya sendiri. Hingga, hal inilah yang nanti menjadi cerita-cerita yang banyak menyadarkanku tentang ketulusan.

Ketakutan terhebatku terhadap ayah tiri, aku rasakan sewaktu SMP. Saat itu di sekolah santer terdengar kasus pemerkosaan seorang siswi oleh ayah tirinya. Aku jadi semakin takut dengan keberadaan ayah tiriku.

Dulu, sebab banyak stigma yang didengungkan orang-orang sekitar, aku langsung tersinggung kalau ayah tiri memarahiku. Aku langsung kepikiran untuk kabur, pulang ke keluarga ayah kandungku. Tapi ibuku sering menakut-nakuti dan memberitahuku bahwa aku belum memahami keluarga ayah kandungku. 

“Mereka pasti tidak terlalu peduli denganmu.” Begitu kira-kira secara kasar ungkapannya.

Aku menjalani hari-hari sebagai anak yang harus merasakan perbedaan dengan anak-anak yang lain, terutama perlakuan keluarga. Pernah ada dititik lelah dan terus mengutuk nasib menjadi anak yang broken home. Tapi beruntungnya, gelar bintang kelas selalu jadi satu-satunya kebanggaan buatku. Setidaknya dengan itu, banyak yang senang berteman denganku. Itu menjadi hiburan yang selalu aku perhitungkan, untuk memberi semangat jadi senormal-normalnya manusia.

Semakin dewasa, banyak peristiwa  yang membuka sedikit demi sedikit tabir rahasia dalam hidup ini. seperti hari ini, aku bertengkar hebat dengan ibuku di rumah. Padahal baru dua hari aku pulang dari tanah rantau. Hanya karena masalah kecil, aku belum merapikan kamarku yang berdebu sejak dua hari pulang. Rasanya aku memang belum bernapsu menata lagi, karena toh masih bisa tidur di kamar adik.

Sampai kemudian itu menjadi bahan untuk ibuku marah-marah, menghitung-hitung kesalahanku, mencaci, dan melampiaskan segala kekesalannya termasuk ketika aku mengundur kepulangan kemarin. 

Dan ketika aku tak sanggup menahan emosi, atas kata-kata yang menyakitkan dihati. Akupun memberi pembelaan atas tuduhan-tuduhan itu. Aku beradu argumen dengan ibu, saling mengeraskan volume suara, tanpa peduli didengar tetangga. Aku benar-benar bertengkar hebat. Aku bahkan tak kuasa melihat diriku bisa melakukan ini semua.

Mungkin orang-orang tidak akan menyangka, aku bisa sekeras ini memperlakukan orang tua. Bahkan karena sumpah serapah yang keluar dari mulutku, rasanya aku pantas diletakkan pada kerak neraka. Ayah tiriku masih menyikat kamar mandi sepulang bekerja, dan aku masih terus menimpali kata-kata ibuku yang terlanjur menyakitkan.

Itu adalah bagian yang paling ku benci dari sebuah kepulangan. Mulanya aku berpikir pertengkaran tidak akan terjadi kalau aku tidak pulang. Tapi nyatanya tidak, sebelum itu beberapa perdebatan kecil terjadi melalui pesawat telepon. Sejenak aku berusaha mengabaikan instruksi itu, tapi tetap saja kepikiran. Akhirnya aku memutuskan pulang, dan pertengkaran ini seperti menjadi klimaksnya.

Tiba-tiba ayahku mengetuk pintu kamarku yang dengan sengaja ku kunci dari dalam. Ia meminta aku membuka tapi aku tak mematuhinya. Aku tidak tahu apa yang akan ia lakukan. Meski tidak pernah memukulku, aku tetap takut kalau saja aku mendapat kekerasan secara fisik. Setelah mengancam ia akan ‘lebih marah’ akhirnya aku membukakan pintu.

Sejurus kemudian, jauh dari perkiraanku, ia melayangkan kata-kata yang lembut. 

“Kok enggak paham dengan sikap ibumu yang sedari dulu begitu, cobalah belajar sabar.” Begitu katanya.

Rasa kesal dan energi kemarahan dengan cepat beralih ke mata. Tangisku luruh ketika mendengar ayah tiriku berbicara seperti itu padaku. Ia telah menganggapku orang dewasa yang pantas diajak bicara dengan kepala dingin. Dan bagiku itu adalah penghargaan yang sangat mendamaikan.

“Coba saja tidak dijawab tadi kata-kata ibumu, pasti tidak akan sepanjang ini, masak sama sikap ibu sendiri saja tidak paham, bagaimana kamu akan mulai memahami perasaan orang lain nantinya. Kalau kamu merasa sakit hati atas kata-kata ibumu, tentu aku juga lebih banyak merasakan sakit hati karenanya. Tapi aku mencoba sabar, kalau tidak sabar ya pasti bubar dari dulu.”

Mak deg!!!!!

Tidak ingin lagi rasanya menjawab umpatan ibuku yang masih berlangsung sampai ayahku berhenti menasihati sekira 15 menit. Aku ingin lulus dari pelajaran kesabaran.

“Ini kan pelajaran yang mungkin nggak pernah mbok pelajari di kuliahan. Belajar sabar menghadapi amarah sendiri dan orang lain” Kata beliau lagi.

Kini, ia bukan sosok yang menakutkan seperti 7-8 tahun yang lalu. Dengan tuturnya yang sekarang, aku tidak pernah ingin menakar sejauh mana kasih sayang seorang ayah tiri. Dengan seluruh kekuatan dan kreatifitasnya ia sekolahkan aku sampai perguruan tinggi.

Aku ingat sekali ketika ia harus melawan perkataan keluarganya sewaktu memutuskan menguliahkanku. 

Tentu logika yang masuk akal “Buat apa bersusah-susah menyekolahkan anak tiri.”

Kata-kata memang sungguh luar biasa. Dengannya seseorang bisa luluh dan melembutkan hatinya. Tapi dengannya juga seseorang dapat mengeraskan hati sampai melakukan sesuatu serupa kelakuan iblis.

Beberapa perbincangan dengan ayah tiriku kali ini. Aku jadi lupa tentang banyak kekesalanku terhadapnya. Aku mengingat banyak hal baik yang aku hutang darinya.

Sewaktu sekolah, tangan kreatifnya tak pernah absen membantuku membuat tuga-tugas prakarya. Sesuatu yang tak dapat ku miliki melalui beli, ia berusaha membuatkannya. Dampar ngaji, meja lipat, rak buku, adalah contoh benda-benda yang ingin ku beli, tapi dibuatkannya dengan ukiran yang lebih unik dari kepunyaan kawan-kawanku.

Kemarin, aku kelimpungan karena charger laptop yang tidak berfungsi. Lalu sepulang kerja ia dandani dan normal kembali. 
Aku jadi malu, hingga usiaku yang dua puluh satu, belum juga lulus dari ujian menata hati seperti ini. Mungkin memang benar, kalau ayahku ini sudah banyak meredam sakit hatinya. Baik sikap dari ibuku, atau tekanan dari keluarganya. Aku jadi sadar, bahwa wajar jika ia marah ketika aku sering mengunjungi ayah kandungku selama di perantauan. Kemarahan itu barangkali sama dengan kemarahanku ketika membayangkan punya adik tiri. Ya, kemarahan sebab ketakutan akan kehilangan seseorang yang disayang.

Darinya, aku tidak sekadar belajar kesabaran menghadapi sikap ibu. Tapi belajar bagaimana meredam konflik di dalam keluarga. Tidak akan pernah padam jika api dipadukan dengan api. Maka salah satunya harus menjadi air. {}

0 Response to "Belajar Sabar dari Seorang Ayah Tiri"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel