Kisah Tentang Perempuan yang Perempuan


Malam ini, hujan sedang mengguyur deras kampungku, sederas rinduku pada aktivitas Kota Kecil tempatku menuntut ilmu. Di Sebuah kota yang lebih pantas disebut desa itu, aku mengenal banyak orang, laki-laki dan perempuan, akrab dengan mereka, membuat kenangan dan akhirnya, aku akan tidak rela untuk meninggalkan bahkan sampai melupakan.

Diiringi gelegar petir yang menyambar, aku berusaha membunuh kebosanan dari aktivitas pengangguran di kampung. Pasca merampungkan sidang skripsi dan segala tetek bengeknya aku memang diminta pulang oleh orangtua. Kendati sebetulnya aku tidak ingin. Kadang aku merasa seenak-enaknya makanan di rumah masih lebih enak makan pakai basreng doank tapi bareng-bareng teman seperjuangan. Halah prett..

Berada di semester akhir aku dihadapkan pada kondisi pertemanan yang begitu random. Seperti sebuah siklus, hilangnya radar dengan seorang teman kadang akan membawa kita pada jalan menemukan. Teman baru atau teman lama yang ternyata yaaa daripada ra enek sing gelem ngancani wkwkw.

Namun, untuk kali ini, aku bahkan bingung bagaimana jenis pertemananku yang satu ini. Dengan seorang perempuan bergingsul dan berkacamata. Kami bukan satu angkatan, pernah punya relasi sebatas senior dan junior tapi tidak lama, tidak satu organisasi, tidak satu jurusan, tapi merasa punya kecocokan.

Hari itu tiba-tiba ia mengirimiku pesan, untuk meminjam baju. Dan sepertinya sejak saat itulah benih-benih persahabatan mulai tumbuh.

Beberapa hal yang menjadikanku sering bercakap dengannya adalah pembahasan tentang seorang laki-laki, sekira satu tahun yang lewat. Kemudian disusul dengan laki-laki selanjutnya, lalu laki-laki yang menjadi sirkel pertemanannya satu persatu, lalu laki-laki yang menjadi sirkel pertemananku satu per satu. Oke sampai di sini, paragraf ini Cuma mau ngejelasin otak perempuan kalau lagi diskusi sering didominasi pembahasan laki-laki.

Singkat cerita kami seperti ditakdirkan nyambung dengan kesukaan akan kata-kata. Meski jarang berjumpa, perang kata-kata via sosial media menjadikan kita seolah satu sirkel pertemanan. Tahap selanjutnya, kopdar yang kemudian menjadi agenda rutin untuk mengungkapkan segala keluh kesah dalam perghibahan. 

Inget banget sih awal mulanya itu di bulan Juni 2019, dia ngajak lebaran ke rumah dosen kami. Selanjutnya gantian dia aku ajak ke rumah dosen pembina organisasiku. Dan nonton bioskop seperti menjadi titik kulminasi kecocokan kami. 

Lebaran di Rumah Dosen kami
Kita yang dulu sering bercerita, kini tinggal berdua..
Pas dia mau KKN ke Jambi
Sejak hari itulah, kami jadi sering atau bahkan setiap hari ketemu. Tanpa ngasih tau ujug-ujug dia udah nongol di depan pintu kosanku. Datang ke kosanku langsung tidur di kasur yang berantakan pun enggak ada masalah.

Persahabatan kami diperkuat dengan kongsi perdagangan sosis telur gulung yang terjadi sekitar bulan september. Disebabkan oleh kebutuhan skinker dan ketahanan pangan serta napsu untuk berfoya-foya beli buku atau nonton bioskop. Kemiskinan memaksa kami bekerja lebih keras. Apalagi kalau bukan demi uang. Hehehe.

Kami seolah jadi sebenar-benarnya relawan, kadang rela kadang melawan. Kadang idealis kadang realistis. Kadang marxis kadang jadi serdadu kapitalis. Yaa gimana? Hidup di alam yang katanya punya gelar tanah surga, tapi nyatanya tetap oligarki juga.

Atas banyaknya diskusi-diskusi yang sudah kami gelar di atas kasur kosanku. Kami bertekad menulis sebuah buku, yang targetnya akan terbit di akhir tahun ini. tapi apalah arti rencana, jika kami sekelas kaum proletar ini sibuk ngamen terus. Halah kesibukan itu hanya alasan, alasaan, alasaaaaaan!!!

Padahal Kata guru kami suatu hari. 

 “Jangan jadi sibuk, jadilah produktif.”

((HMMMM YAUDAHLAH YAA))

Kembali pada judul tulisan ini, ‘Kisah Tentang Perempuan yang Perempuan’. Adalah sebuah suara yang darinya, aku sering diceritakan bagaimana seharusnya perempuan berbangga pada keperempuanan sebagai identitasnya. Bersamanya kami belajar bagaimana menjadi perempuan berdaya dan memotret pengalaman perempuan yang selama ini tenggelam.

Maka boleh disimpulkan ketika kami punya segudang perbedaan diawal perjumpaan, satu-satunya yang dapat mengikat dan menyatukan adalah isi kepala kita. Kita satu visi satu tujuan. Kita satu frekuensi. Sehat selalu dan panjang umur perempuan yang perempuan.

Bersambung..

0 Response to "Kisah Tentang Perempuan yang Perempuan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel