Review Novel Lebih Senyap dari Bisikan
Dalam hidup memutuskan untuk memiliki keturunan bisa jadi hal yang paling
penting, paling membingungkan dan paling sering dipengaruhi oleh orang
lain.
Siapa sangka jika punya anak belum tentu jadi takar bahagia nya untuk
beberapa pasangan. Ada banyak pasangan yang mendambakan kehadiran anak. Namun,
diantara mereka ada pula beberapa jenis manusia yang memiliki anak karena ingin
memenuhi ekspektasi masyarakat.
Mungkin, Baron dan Amara dalam novel ini adalah salah satu pasangan jenis
ketiga. Lima tahun usia pernikahan membuat mereka terdistraksi akan fakta-fakta
lingkungan yang mulai sibuk dengan keluarganya masing-masing.
Amara mengawali kompleksitas di dalam hidupnya setelah memutuskan menikah
dengan Baron, laki-laki yang ia pacari semasa kuliah tanpa restu dari ibunya,
satu-satunya orang tua Amara. Mereka kemudian menikah dengan tetap berbeda
agama. Mereka berharap, dapat membina rumah tangga yang setara, merdeka, tanpa
terikat nilai-nilai tradisional. Mereka mencoba modern dan hidup di ibukota.
Hidup menjadi sepasang suami istri selama kurang lebih 5 tahun membuat
Amara dan Baron kembali mempertanyakan untuk apa mereka menikah, mereka
kelimpungan ketika menengok teman-teman nongkrongnya sudah mulai sibuk dengan
keluarganya. Pada titik itulah, kemudian Amara dan Baron memutuskan untuk
mengambil program hamil.
Segala cara mereka upayakan untuk mendapatkan anak, karena ambisi melihat
orang lain. Novel ini jadi merarik bukan karena perjuangan dalam konflik begitu
heroik, tapi justru karena kisah ini barangkali begitu dekat dengan kehidupan
kita.
Lembaga pernikahan yang akhirnya dibangun oleh dua orang yang mencoba,
mendobrak nilai-nilai tradisional, menjadi kaum urban, perlahan ekonominya
bangkit, berada dititik membosankan dan beranggapan anak adalah obat dari rasa
bosan itu, Amara dan Baron adalah pasangan yang mungkin jamak kita jumpai di
sekitar kita.
Memperjuangkan kehamilan sangat melelahkan terutama bagi Amara, perasaan
khawatir, tentang apa yang salah dari tubuhnya mulai berdatangan. Ia merasa
sepi karena seperti hanya dia yang dibebani oleh pertanyaan belum punya anak
oleh orang-orang.
“Di Akhirat nanti, kalau aku ketemu Tuhan, akan kutanyakan kenapa Dia bikin
tubuh perempuan seperti makanan kaleng. Ku bayangkan ada tulisan Best
Before....” Hal 9
Sekilas novel ini berkisah tentang drama rumah tangga biasa. Tapi
sebenarnya ia punya pesan realitas yang halus, makanya novel ini berjudul lebih
senyap dari bisikan. Kenapa bisa begitu? Alasannya adalah, fenomena dan
pengalaman biologis yang hanya dirasakan oleh perempuan selama ini masih
dianggap tabu untuk diperbincangkan di depan khalayak luas. Hal-hal semacam,
menstruasi, masa-masa hamil, melahirkan, dan menyusui sudah dianggap
sebagai kodrat perempuan secara mutlak. Semua cerita tidak mengenakkan yang
dialami perempuan akan ditelan sendiri karena membicarakannya dianggap tabu dan
tidak pantas.
Amara dan Baron adalah pasangan muda yang tumbuh dengan budaya tradisional.
Tapi semenjak menikah, mereka ingin lepas dari ikatan tradisional. Mereka ingin
menjadi modern dengan segala kebebasan pemilihan keputusan.
Pada perjalanannya, berusaha menjadi modern ternyata tidak mudah. Prinsip
kemerdekaan dan kesetaraan yang senantiasa ingin dipegang dalam biduk rumah
tangga juga tidak sepenuhnya terealisasikan.
Berbeda dengan novel feminis kebanyakan yang memiliki tokoh utama kuat,
mandiri, berpikir merdeka, dan berani bertindak. Amara dan Baron mungkin adalah
representasi kebanyakan dari kita. Mencoba mendobrak nilai-nilai tradisional,
tapi akhirnya juga tak dapat bangkit ketika terjerembab dalam kubangan bencana
modern.
Tiba-tiba sifat pengecut, tidak solutif dan melemah jadi hal yang harus
mereka alami. Keputusan dan konflik yang mencoba mereka perbaiki dalam rumah
tangga nyatanya tidak sesempurna teori yang mereka pelajari. Tanggungjawab atas
kehadiran buah hati yang seharusnya dipikul berdua, sebagaimana nilai-nilai
kesetaraan justru kacau karena beberapa pola harus hilang ditelan ego.
Kisah dalam novel ini begitu memilukan, apalagi jika dibaca oleh perempuan.
Tapi kehadiran novel ini juga penting untuk dibaca oleh laki-laki. Gerakan
kesetaraan gender yang sering digaungkan oleh komunitas-komunitas akan sangat
terlihat realitasnya lewat kisah novel Lebih Senyap dari Bisikan ini.
Tentang hal-hal tabu yang tidak pantas dibicarakan, persoalan rumah tangga
yang sering terjadi tapi luput dari pembahasan, juda tentang bagaimana
bertanggungjawab dan bekerja sama dalam rumah tangga yang seharusnya jadi
pelajaran untuk semua orang.
Novel ini juga memberikan gambaran pengalaman biologis perempuan yang
mungkin banyak dirasakan oleh perempuan di luar sana. Membicarakan itu, lewat
novel ini rasanya menjadi sangat penting agar peran laki-laki di dalam rumah
tangga kembali di ukur. Sebab bagaimana sebuah pernikahan, yang disebut institusi,
harus punya kerja sama yang baik untuk mendapat umur yang panjang dan bisa
membahagiakan setiap anggotanya.
Perkara-perkara perempuan tentang pengalaman biologisnya seringkali hanya
berhenti dipikirannya sendiri, paling mentok suaminya. Karena kalau dibicarakan
kepada orang lain yang lebih luas akan dianggap aneh, nggak pantas, atau tidak
sopan. Padahal ini penting didiskusikan, supaya tidak meninggalkan kekecewaan
karena tingginya ekspektasi.
Kita mungkin sering dengar kata-kata begini “Menikah itu adalah momen
paling bahagia, tapi kita berharap enggak mengulangnya lagi, sedangkan
melahirkan itu menyakitkan, tapi kita pasti ingin mengulangnya lagi.”
Atau yang lebih menyebalkan, “Perempuan itu aneh ya katanya melahirkan
sakit tapi kok mau melahirkan lagi dan lagi.”
Padahal melahirkan terkadang gak semenyenangkan yang dipikir orang-orang,
bahkan ada beberapa perempuan yang sangat trauma dengan melahirkan sampai ia
butuh waktu beberapa lama untuk siap hamil dan melahirkan lagi.
Pembahasan tentang peristiwa hamil dan melahirkan yang begitu
kompleks, mengenai, cemas, takut,letih, sedih, dan bahagia yang
bercampur itu tidak pernah diulas sedemikian rupa, di mata
masyarakat itu yang terlihat Cuma bahagianya aja. Tapi dinovel ini
benar-benar digambarkan fenomena itu sangat jelas, bahwa buku tentang
melahirkan tanpa rasa sakit nyatanya hanyalah ilusi.
Pada novel ini disuguhkan pula kisah-kisah tentang pengalaman biologis
perempuan yang mungkin hanya dapat dituliskan oleh perempuan itu sendiri.
Bagaimana sakitnya menahan dan menunggu bukaan 1-10 menjelang kelahiran,
bagaimana menahan malu ketika mengejan yang keluar bukan bayi melainkan
fesesnya, dan bagaimana perihnya saat dokter mengambil gumpalan darah yang
mirip rempelo ati mentah pasca melahirkan. Saya rasa akan sulit novelis
laki-laki menggambarkan itu sebab ia tidak mengalaminya secara langsung.
Makanya kenapa novel berjudul lebih senyap dari bisikan karya Andina
Dwifatma ini menjadi penting hadir ditengah-tengah kehidupan kita. Untuk
mendobrak tembok tabu tentang diskursus pengalaman biologis perempuan. Novel
ini hadir dengan segala realitas yang sangat mungkin terjadi dalam rumah
tangga, tapi luput jadi pembahasan kita.
Benar kata orang-orang yang sudah membaca buku ini, bahwa Amara adalah
tokoh yang menggambarkan banyak perempuan. Ia ingin kehidupan rumah tangganya
setara sebagaimana nilai-nilai yang ia yakini. Sementara ia lupa, Baron
suaminya yang meskipun sudah sepakat akan membentuk rumah tangga yang setara
itu, adalah laki-laki yang tumbuh ditengah-tengah budaya tradisional dan
menikmatinya. Tentu saja Baron menggambarkan kebanyakan suami bukan?
Yang sebenarnya memiliki inisiatif, pandangan terbuka, sikap ingin adil tentang
pembagian pekerjaan domestik dan publik. Bagaimana beban produksi dan
reproduksi harus ditanggung bersama. Tapi sometimes, Baron juga akan sulit
bergerak jika belum disuruh. Semuanya hanya sebatas nilai, teori, dan belum
sepenuhnya terealisasi pada praktik kehidupan sehari-hari.
Kita mungkin akan kecewa, ketika Baron berusaha sekuat tenaga untuk tampil
maskulin ketika rumah tangganya goyah akibat bencana ekonomi khas perkotaan, ia
justru jadi pengecut yang sejatinya mencoreng maskulinitasnya sendiri.
Ia jadi lemah dan tak bertanggungjawab atas kehancuran yang ia mulai.Ia
tidak berbesar hati untuk membantu Amara menyelesaikan urusan reproduktif dan
justru melimpahkan beban itu di pundak Amara seorang diri. Dan akhirnya
perempuan lagi yang menjadi korban.
Pada setiap kisah memilukan dari rumah tangga, ada banyak pihak yang
akhirnya menyesal. Tapi semua itu jarang dibicarakan, semuanya berhenti jadi
masa lalu yang haram diungkap. Tapi ketika kisah ini dibaca banyak orang, saya
yakin orang-orang akan memandang pernikahan sebagai realitas yang utuh.
Mempersiapkan segala kemungkinan terburuk dari perubahan pasangan.
Judul Buku : Lebih
Senyap dari Bisikan
Penulis :
Andina Dwifatma
Tahun Terbit : 2021
Halaman :
155
Pereview :
Ririn Erviana
Bagus reviewnya mba, dan ini menambah rasa penasaran saya untuk membaca novel ini. Menarik banget soalnya, hal tentang institusi pernikahan selalu menarik untuk di kulik, ditengah budaya kita yang kental dengan patriarki nya
ReplyDeleteterima kasih ya mbak sudah membaca review ini. memang sangat menarik jika membahas tentang pernikahan dan budaya-budaya di dalamnya.
DeleteReview yang menarik. Sepertinya konflik ini memang terlalu dekat dengan keseharian. 😌
ReplyDeleteDekat tapi jarang kita jadikan isu yang penting ya.
DeleteKeren reviewnya...jadi penasaran dengan buku aslinya... tapi kalau malas baca baca reviewnya saja sebenarnya sudah cukup...
ReplyDeleteTerima kasih, semoga bisa membantu dan menambah pengetahuan tentang isu-isu yang belum banyak dibicarakan ya.
DeleteReviewnya bikin penasaran.... bukan hanya penasaran baca, tp penasaran nulis novel yang bagus juga.
ReplyDeleteWih double kill dong ya, kayaknya harus banget sih banyakin novel bertema perempuan dalam rumah tangga ni.
DeleteMemang ya pengalaman biologis perempuan selalu menarik untuk diulik, keren kalau ada novel yang mengangkat tema ini.
ReplyDeleteSebagai laki-laki ngebaca ini akhirnya bikin melek juga. Banyak hal-hal remit dalam pernikahan yang enggaa pernah di ekspos ternyata.
ReplyDelete