Bagiku Mengucapkan Selamat Hari Natal itu Toleransi bukan Kristenisasi

Kalau tidak salah ingat, saat itu saya masih kelas dua atau tiga sekolah dasar. Ketika bude dan sepupu saya yang beragama katolik, mengajak ke gereja untuk merayakan natal. Sebagai anak kecil, tentu saja saya senang tanpa memedulikan persoalan akidah, yang belum sampai pada nalar saya saat itu.

Kenapa orang tua saya mengizinkan? Karena saat itu keluarga saya sedang broken-brokennya. Saya diurus oleh kakek dan nenek. Dan mereka justru mempersilakan bude untuk mengajak saya, daripada kesepian karena sepupu yang biasanya bermain bersama saya sedang merayakan natal.

Hari itu, saya cukup senang. Mendapat banyak kawan baru di gereja, kami menggunakan pakaian pesta yang pada saat itu cukup mewah. Banyak makanan enak dan tentu saja tidak ada beban tugas cuci piring dan menyapu sebagai pembelajaran akan gawean. Kalau sekarang menyebutnya domestifikasi.

Hari berikutnya setelah masuk sekolah, entah darimana sumbernya teman-teman saya tahu tentang kepergian saya ke gereja. Dan secara berjamaah, mereka mengejek saya telah menjadi kristen sebab merayakan natal kemarin. Sebagai anak kecil saya sedih, kenapa mereka setega itu? Seolah hanya karena saya pergi ke gereja, lantas mereka akan menurunkan sedikit simpatinya sebagai teman. Sebab bagi mereka, saya bukan satu frekuensi lagi. 

Berangsur-angsur ejekan itu masih terus menimpa saya, sebab hanya saya sendiri yang tidak berjilbab di sekolah saat itu. Mereka bilang saya itu bukan islam, buktinya teman-teman sudah berjilbab sementara saya belum. 

Bahkan kalau berangkat mengaji, mereka meragukan saya. Kenapa ikut mengaji? Bukankah saya kristen? 

Sampai duduk di bangku SMP saya belum berjilbab. Dan di sini, beberapa teman saya terdiri dari nonmuslim. Dalam satu angkatan mereka (Teman-teman nonmuslim) merupakan deretan siswa-siswi yang cerdas. Akhirnya saya berteman dekat dengan salah satunya.

Kami berteman baik di sekolah, berbagi tentang berbagai hal seputar kehidupan anak SMP. Tidak terkecuali agama. Namun, saya (atau bahkan sebagian besar orang) tidak cukup menyadari bahwa, saat itu teman-teman saya yang nonmuslim ini mengalami deskriminasi. 

Di sekolah, ketika tiba pelajaran pendidikan agama islam, mereka diperbolehkan keluar kelas. Artinya mereka tidak ikut belajar. Sementara waktu ujian akhir semester tiba, mereka tetap mengerjakan soal agama masing-masing.

Tidak adil bukan? 

Ketika mayoritas siswa diberi akses pelajaran agama islam, mereka yang nonmuslim tidak. Bahkan mungkin sampai sekarang, banyak sekolah yang belum menyediakan guru agama bagi siswa-siswi nonmuslim.

Maka sebenarnya itulah sedikit alasan yang membuat saya memutuskan untuk menulis skripsi tentang pendidikan multikultural. Memang awalnya tidak muluk-muluk, tapi tanpa sadar persoalan dan persinggungan mengenai peribadatan, bahkan belum selesai sejak negara kita dikatakan merdeka.
Ketika ujian skripsi, dosen penguji saya menanyakan berapa siswa nonmuslim tempat saya penelitian. Kemudian sejurus dengan itu beliau mengatakan dengan setengah mengece, atau sebetulnya hanya mengetes mental saya. 

“La ini yang nonmuslim lima anak, kamu sudah muluk-muluk menjelaskan multikultural ke sana kemari.”

Lalu saya memberi pembelaan bahwa, 

“Justru karena hanya lima itu, seharusnya siswa siswa yang mayoritas terus diajarkan bagaimana menjadi sebenar-benarnya toleran.”

Memang sering kali, kepentingan minoritas akan dikesampingkan. Sehingga suaranya mereka sayup-sayup terdengar atau bahkan tak terdengar lagi. Bahkan banyak orang tidak menyadari mereka ternyata terdeskriminasi. Seperti akses pembelajaran nonmuslim pada teman-teman saya di SMP.

Selanjutnya teman saya yang nonmuslim ini, tidak pernah absen mengucapkan selamat idul fitri kepada saya dan teman-teman dekat kami yang muslim. Dan begitu pula saya, dengan sedikit rasa khawatir akan menurunnya tingkat kesalehan sebagai muslim. Saya kerap diam-diam mengucapkan selamat natal kepada teman saya. Tentu saja dengan alasan tidak enak. Bayangkan saja setiap Idul Fitri saya selalu dapat ucapan dan doa yang baik-baik masa waktu dia sedang merayakan natal saya tidak mengucapkan sama sekali.

Tapi kini, saya mulai belajar dan memaknai kembali toleransi. Kasus ketika SD dan SMP yang menimpa saya mengajarkan tentang betapa kita terkadang lancang mengklaim seseorang, bukan lagi islam, ketika sudah masuk gereja atau tidak saleh lagi ketika mengucapkan selamat natal.

Padahal, bukankah banyak dari kita yang beragama islam semata karena orang tua kita juga islam. lalu apa yang bisa dibanggakan dari kesalehan yang belum tentu diturunkan melalui gen ini?. Selama ini, kita sibuk menghapal pasal mengenai “Hukumnya melakukan ini bagaimana? Hukum mengucap itu bagaimana?”

Hingga terkadang lupa, akan tugas-tugas kemanusiaan dan unggah-ungguh terhadap sirkel pergaulan kita. Kita merasa sudah salat sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan yang kita imani, tapi jangan sampai kita lupa akan salat-salat sosial yang mungkin belum kita sadari.
Kita berhak yakin bahwa kita benar, tanpa perlu yakin bahwa yang lain adalah salah.

Selamat berhari raya Natal untuk teman-teman yang merayakan...

Semoga bernatal dengan khusu dan bahagia

7 Responses to "Bagiku Mengucapkan Selamat Hari Natal itu Toleransi bukan Kristenisasi"

  1. Saya nggak nyangka sist punya fikiran yg moderat dalam beragama (islam).. Maaf saya tadinya mengira sist adalah orang yg fahamnya ikut "hijrah-hijrahan" itu. Soalnya jarang lho, cewek berhijab punya pandangan keagamaan kaya gini.. Salut dan respek saya buat anda.. 🙏🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, mari menebar kebaikan dengan adil.

      Delete
    2. 🙏🙏🙏

      Keknya sist orang NU ya? 😋

      Delete
    3. Karena hanya orang-orang NU yg berfikiran moderat dan toleran dalam beragama.. 😋

      Delete
  2. kalau sekadar mengucapkan selamat engga masalah si mbak
    yang gaboleh kan ikut ibadah
    masalah gini jadi bahan perdebatan terus ya sampe sekarang
    padahal kalau natal ya suka banget soalnya bisa libur juga hehe

    ReplyDelete
  3. Aghhhhh aku seneng baca iniii ❤️. Akupun termasuk yg tetep ngucapin hari besar agama masing2 ke temen2ku yg merayakan mba. Bagiku, hanya mengucapkan itu, ga akan membuat keimanan ku memudar. Ga usah kuatir kalo soal itu. Terserah sih kalo ada yg mengharamkan. Tapi aku ga percaya hanya mengucapkan aja kita lgs dicap macem2 -_-.

    Aku bersyukur sekolahku dulu dari sd-smu sangat toleran, padahal aku sekolah di Aceh, yg mana Islamnya mayoritas. Dulu murid Katholik dan protestan disediain guru masing2. Tapi sayangnya ada temen yg Hindu, sekolah ga bisa menyediakan guru agama Hindu Krn memang ga ada. Jadi siswa Hindu disuruh memilih mau ikut pelajaran agama apa. Temenku itu memilih Utk ikut belajar khatolik.. jadi pas ujian, dia dpt soal2 yg khatolik.

    Terhadap anak2ku, aku tekanin pentingnya toleransi, dan jangan pernah merendahkan temennya yg agama lain. Aku ga mau aja pikiran mereka jadi picik kalo ga diajarin Sejak kecil ttg keberagaman agama. Dan itu juga kenapa aku suka ngajakin anakku traveling melihat negara lain di mana Islam bukan mayoritas. Supaya mereka tahu ada tempat di mana budayanya, agamanya semua berbeda. Jadi rasa toleransi mereka bisa LBH kuat

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel