Perempuan dalam Pernikahan


Beberapa waktu lalu saya membuka question box di Instagram. Tujuannya untuk mendapatkan saran dari teman-teman instagram tentang topik apa yang ingin mereka baca dari blog saya ini. Di luar dugaan, mereka menyarankan banyak hal. Ada satu saran yang menarik bagi saya, yaitu Perempuan dalam Pernikahan.

Menarik sekali, walaupun sebenarnya saya tidak punya kapasitas untuk berbicara ini selain sebagai praktisi (perempuan yang berada dalam institusi pernikahan, dalam kurun waktu yang sebentar). Saya bukan seorang yang ahli hukum keluarga atau pengamat pernikahan, apalagi seorang psikolog.

Tapi barangkali, cerita tentang perempuan dalam pernikahan ini penting untuk saya tuliskan agar terdapat gambaran dan perspektif baru dari sudut padang perempuan seperti saya. Apalagi, baru-baru ini, kita dikejutkan dengan kabar Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami artis muda, Lesti Kejora oleh suaminya, Risky Billar.

Tak ayal berita tersebut telah menjadi triggered warning, bagi teman-teman perempuan yang belum menikah. Mereka jadi merasa takut akan pernikahan, sampai-sampai mungkin bertanya tentang bagaimana perempuan dalam pernikahan.

Sebelum saya menikah dengan suami, ada banyak hal yang kami bahas tentang kehidupan rumah tangga. Salah satunya adalah kedudukan kami masing-masing sebagai manusia yang utuh. Sehingga tidak ada subjek kedua diantara kami, semua adalah subjek utama.

Kami belajar tentang relasi setara. Hingga hari ini saya menyadari bahwa relasi yang tidak didasari oleh kesetaraan pada akhirnya akan menimbulkan banyak kemudharatan, konflik, dan ketidakadilan. Perempuan dalam pernikahan bukanlah sandera yang harus tunduk patuh terhadap suami, begitu juga sebaliknya.

Perempuan dalam pernikahan boleh memberikan pendapat dan harus terlibat pada semua keputusan serta kebijakan dalam rumah tangga. Setidaknya itu yang ada di kepala saya, dan sejauh ini saya dan suami menganut prinsip itu.

Saya tidak paham bagaimana perempuan dalam pernikahan yang terpaut jauh lebih muda umurnya dengan laki-laki. Apakah mereka punya tantangan tersendiri dalam menggapai relasi yang setara ini. Tapi yang jelas, adanya komunikasi dan kesepakatan sebelum menikah jadi poin utama yang harus dihighlight.

Dulu, sebelum punya relasi dengan laki-laki. Saya punya keinginan yang sangat idealis, tentang saya yang tidak mau ditelan domestikasi saat sudah menikah kelak. Namun, seiring berjalannya waktu saya punya sudut pandang yang berbeda dengan pekerjaan domestik ini.

Perempuan yang memutuskan untuk tidak bekerja di ruang publik dan fokus mengerjakan pekerjaan domestik bukan lagi perempuan kelas nomor dua. Jika, keputusan itu memang berasal dari dirinya sendiri, karena memang dia suka melakukannya. Apalagi, jikaia punya sebuah keinginan yang lain tentang keputusan menjadi ibu rumah tangga itu.

Misalnya, dia menjadi ibu rumah tangga tapi dia fokus merawat anak, tanaman, bersih-bersih rumah dan lain sebagainya kemudian dibuat konten yang mengedukasi. Sehingga dari sana, ia tetap memaksimalkan potensinya. Atau karena gemar memasak, dia membangun usaha katering, makanan ringan dan sebagainya.

Perempuan dalam pernikahan tetap sama-sama subjek utama kehidupan. Tidak berarti jadi warga kelas dua karena ia tidak produktif secara ekonomi karena tidak beraktivitas di publik.

Jika kita bersedia melihat lebih dalam, adanya ketidakadilan yang menimpa perempuan, sebagian besar disebabkan oleh ketidaksetaraan. Perempuan dalam pernikahan yang dianggap sebagai subjek kedua, lebih rendah akan lebih rentan mengalami kekerasan. Adanya perasaan superior dari laki-laki menyebabkan aktivitas memberikan kekerasan pada perempuan sebagai hal yang wajar.

Perempuan yang mengamini status dirinya sebagai subjek kedua kehidupan juga akan membenarkan situasi itu. Jika menerima kekerasan, ia merasa itu karena memang dia yang salah, dia yang tidak menurut perkataan suami dan seterusnya.

Begitulah ketidaksetaraan akhirnya terus bertumbuh dalam masyarakat patriarki dan berperan dalam masifnya kekerasan yang menimpa perempuan. Sementara, di sisi lain, perempuan akan dianggap durhaka,  tidak beretika jika menceritakan sesuatu yang tidak mengenakkan kepada orang lain tentang apa yang terjadi dalam pernikahannya.

Katanya, masalah yang ada dalam pernikahan adalah aib yang tak boleh disebarluaskan. Perempuan harus menjaga dengan baik rahasia itu. Harus selalu terlihat baik-baik saja. Dan akhirnya, perempuan harus selalu berusaha hidup dalam kepura-puraan.

Perempuan bisa menjemput keadilannya jika berhasil mematahkan stigma buruk yang melekat pada dirinya dalam struktur masyarakat patriarki. Salah satunya dengaan menunjukkan banyak kemudharatan yang terjadi dengan konsep patriarki ini. 

Sebaliknya, perempuan dan laki-laki harus berusaha bersinergi memberikan kebermanfaatan yang lebih luas lagi dengan relasi yang setara. Dengan adanya relasi yang setara perempuan dalam pernikahan tidak perlu hidup berpura-pura. Dengan adanya relasi yang setara, ada prinsip ringan sama dijinjing, berat sama dipikul sehingga tidak ada salah satu yang merasa punya beban paling berat.

Semua permasalahan dalam pernikahan dihadapi bersama-sama tanpa saling menyalahkan apalagi menghitung siapa yang paling berkuasa dan mendominasi. Kita selalu melihat adanya dominasi di manapun tidak pernah membawa dampak baik. Adanya justru kekerasan, eksploitasi dan ketidakadilan.

Teruntuk teman-temanku perempuan di luar sana. Tidak perlu takut menikah jika kamu memilih pasangan yang bersedia membentuk relasi yang setara dalam pernikahan. Laki-laki yang tidak berkenan membantuk relasi yang setara pantas kamu tinggalkan.



3 Responses to "Perempuan dalam Pernikahan"

  1. setuju banget untuk mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahan, kesetaraan itu sangat penting . Apabila dari awal ada kesenjangan baik dari posisi, status, sehingga ada balok yang harus disingkirkan sebelum memasuki jenjang pernikahan.

    ReplyDelete
  2. Iya setuju
    Bukan pernikahan yang harus ditakuti
    Tetapi mendapatkan pasangan yang baik yang harus dicari
    Supaya kehidupan pernikahan bahagia

    ReplyDelete
  3. Betul sekali kak Perempuan dalam pernikahan boleh memberikan pendapat dan harus terlibat pada semua keputusan serta kebijakan dalam rumah tangga. Apalagi kalau bisa pernikahan ini sekali seumur hidup kan

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel