Dulu Aku Merdeka dari Kantor, Sekarang dari Ekspektasi

Setelah jadi dewasa makna kata merdeka jadi luas banget ya? Kalau dulu mungkin mikirnya merdeka itu ya merdeka dari penjajah. Tapi kini merdeka bisa dari banyak hal, termasuk merdeka sehabis perang sama diri sendiri dan merdeka dari ekspektasi orang. Kadang aku mikir gimana ya orang dulu tuh mengatasi overthinking karena ekspektasi orang lain. Kayaknya bagi orang dulu ekspektasi orang lain bukanlah masalah yang serius. Atau sebenarnya masalah yang serius tapi memang tidak pernah dianggap aja.

Sekarang ketika umurku menginjak 27 tahun, setiap hari aku berjuang untuk merdeka dari perang dengan diri sendiri. Rasanya ada saja yang aku overthinking-in. Dan ternyata untuk merdeka dari hal semacam itu rasanya nggak mudah. Apalagi setelah resign dan memutuskan full time di rumah jadi Ibu Rumah Tangga (IRT).

Dulu Merdeka dari Kantor

Aku ingat sekali setelah bulat memutuskan untuk resign dari pekerjaan rasanya lega banget. Nggak ada bayangan kalau nanti bakal insecure atau menyesal. Karena aku juga sudah menyiapkan beberapa rencana kegiatan yang akan ku lakukan setelah nggak kerja di Kantor. 

Namun, setelah setahun lebih resign dari kerjaan aku malah mendapati diriku sering insecure. Awal mulanya ketika pagi hari saat aku momong anakku di depan rumah. Aku menyaksikan orang-orang berlalu lalang pergi bekerja dengan pakaian rapi dan wangi. Sementara aku hanya pakai sendal jepit, celana kulot dan kaos oblong lusuh. Gara-gara itu juga aku jadi termotivasi menyetrika baju-baju harianku. Karena aku juga mau memakai baju yang rapi walaupun hanya di rumah saja.

Padahal dulu, selalu mengidam-idamkan posisi seperti ini. Dimana tidak perlu pakai seragam yang rapi. Cukup pakai baju seadanya dan menjalani hidup dengan meaningful. Aku mulai mempertanyakan pada diri sendiri apakah aku belum sepenuhnya memerdekakan diriku?

Kini Aku Berjuang Melawan Ekspektasiku Sendiri

Dimanakah rasa lega yang aku idam-idamkan ketika aku tidak perlu memikirkan tekanan kerjaan dari atasan. Ketika aku tidak perlu takut pulang larut malam. Kenapa sekarang rasanya sulit sekali menggapai rasa syukur? Nauzubillah.

Rasa insecure-ku makin bertambah ketika melihat teman-teman membagikan kemajuan karirnya di sosial media. Aku merasa tidak mencapai apa-apa selama jadi IRT. Bagian ini sungguh membuatku ingin marah dan menangis. Manusia macam apa diriku ini yang selalu merasa tidak terima, bahkan dengan pilihanku sendiri?

Mungkin salahku dari awal sudah menaruh ekspektasi dan terlalu ingin melakukan banyak hal. Sehingga aku jadi tidak fokus melakukan satu hal secara konsisten. Semuanya jadi berantakan dan aku terlalu sibuk melihat hijaunya rumput orang lain. 

Aku pengen ngonten masak, ngonten review buku, menulis blog, ngonten di shopee affiliate, ngonten di fb pro, ngonten di tiktok dan youtube. Nyatanya setelah jadi IRT aku tidak punya banyak waktu. Kalau aku nekad melakukan semuanya tubuhku sendiri yang jadi korban. Aku jadi sering uring-uringan dan kelelahan. Selanjutnya aku marah-marah sama suami dan anak. Lalu aku menyesalinya. Ah rumit sekali rasanya sekarang.

Biarlah tulisan ini menjadi jejak, bahwa aku pernah ada di titik ini. Walaupun aku tidak pernah tahu bagaimana ke depannya. Apakah aku akan menemukan sesuatu yang membuatku lebih tenang, bahagia dan bersyukur. Aku berharap diriku bisa mengusahakan itu. Dari dulu menulis coping mechanism-ku, maka dengan ini aku berharap rasa tidak nyaman ini segera hengkang dari diriku.

Mencoba Berdamai dengan Pilihanku Jadi IRT

Setiap aku ngonten aku selalu punya ekspektasi. Kalau ekspektasiku tidak terpenuhi ada perasaan marah yang bersembunyi di hatiku. Aku ingin mencoba biasa saja. Tapi nyatanya aku butuh merilis emosi itu. Tapi sebenarnya aku menyadari bahwa marah menghabiskan banyak energi. Jadi kayaknya marah itu harus dicurahkan dalam bentuk aktivitas lain. Menulis jadi pilihanku sekarang. 

Aku akan mencoba berdamai dengan pilihanku menjadi IRT. Bahwa benar aku tidak seproduktif dulu secara ekonomi. Itu tidak apa-apa asalkan aku tidak kelaparan. Aku harus mencoba menenangkan diri. Aku akan mencoba berdamai jika menjadi IRT aku punya pencapaian yang dulu pernah aku bayangkan seperti menang lomba-lomba. Aku harus belajar tentang penerimaan jika ternyata banyak lomba yang aku ikuti tidak menang.

Menjadi kalah itu sangat tidak enak. Terkadang ingin membenci hidup ini jika belum berhasil menang. Tapi bukankah hidup juga tentang berjuang menumbuhkan sikap 'nrimo.' Lagipula jika aku beriman pada Tuhanku, tentu aku harus percaya bahwa rezekiku tidak akan pernah melewatkanku. Jadi sekarang mari menikmati pilihan hidup ini dengan sebaik-baiknya. Jika kesempatan untuk bekerja lagi itu datang, dan itu memang rezekiku pasti tidak akan kemana.

Selamat berjuang memerdekakan diri dari ekspektasi ya Ririn!

0 Response to "Dulu Aku Merdeka dari Kantor, Sekarang dari Ekspektasi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel