Fakta-Fakta yang Tersimpan di Hari Ibu


Hari Ibu datang lagi....

Ada yang bilang hari ibu adalah setiap hari, persetan dengan itu semua, sebagai orang yang juga lahir dari rahim seorang ibu tentu aku larut dalam euforia perayaan hari ibu. Tak banyak yang dapat ku lakukan, meskipun linimasa sosial media dibanjiri ucapan maupun pamer kemesraan dengan ibunya masing-masing. 

Semua orang punya cara yang berbeda untuk memberi penghargaan pada ibunya. Dan aku, di usia seperlima abad ini, rasanya belum menemukan cara yang pas untuk memberi penghargaan pada ibuku. Beberapa puisi memang sempat ku tulis, atau sekadar narasi singkat tentang perasaanku pada ibu. 

Tapi itu semua hanya bersarang di laptopku atau mentok ku publish di blog. Belum pernah aku sampaikan langsung pada ibuku. Juga ibuku belum pernah membaca karena beliau memang gagap teknologi, sehingga tidak dapat mengakses tulisan-tulisanku.

Entah bagaimana perasaan ibuku, memiliki anak sepertiku. Sudah pernah banggakah? Atau biasa saja aku juga tak pernah menanyakannya. Bagiku menulis tentang ibu atau orang tuaku adalah wujud perasaan cinta yang tak berani ku nyatakan. Menyatakan saja aku tak berani, apalagi sampai membuktikan. Benar saja, aku mengira belum pernah membuktikan rasa cintaku kepada ibu atau ayahku. 

Bagi mereka aku masih menjadi anak kecil yang harus dituntun dan diarahkan. Dan aku sebagai anak tak jarang menjadi pembangkang. Ketika ada hal yang tak diperbolehkan, dengan nekat aku tetap melakukan. Aku sendiri bingung dengan pola pikirku, tidak bermaksud durhaka tapi aku sepertinya memiliki karakter keras kepala.

Ibuku, yang bertubuh tinggi, berambut lurus dan memiliki senyum yang manis. Guratan senyum yang ia pancarkan kini tak dapat ku nikmati setiap hari. Aku hanya dapat memandangnya dikala pulang kampung, enam bulan sekali. Dengan intensitas pertemuan yang jarang itupun, aku masih sering membuatnya kesal, membuat nada bicaranya menjadi tinggi bahkan membuat beliau tak ingin berdebat denganku lebih lanjut. 
 
Manis kan senyum ibuku?
Ya aku memang keras kepala, kata orang-orang aku pandai, tapi sepertinya kepandaianku kerap ku jadikan senjata untuk melawan orang tua. Tidak!!! Aku tidak ingin durhaka!! (Pengen nangis tapi stok air mata habis)

Ibuku, yang menurutku memiliki kosakata yang lebih di kepalanya adalah wanita yang cerdas. Meski beliau tidak pernah menamatkan bangku sekolahnya. Hanya sampai kelas 4 SD saja beliau belajar, berhenti karena katanya pernah ngambek tidak dibelikan sepeda. Barangkali ibuku sama keras kepalanya denganku. 

Ya semakin tumbuh dewasa, aku merasa semakin mirip dengan ibuku. Nada bicaraku, prinsip hidupku, caraku menyelesaikan masalah dan lain-lain. Meskipun terkadang ibuku tidak mau mengakui aku mirip dengannya, saat aku jadi anak bandel dan susah dinasihati ibuku akan mengatakan bahwa aku begitu mirip dengan ayahku. Hmmm lucu kan?
Bukankah aku mirip dengan ibuku?
Ku katakan wanita cerdas, karena ibuku sangat pandai berjualan, ya minimal di mataku. Gerak-geriknya yang cekatan ditambah kegigihannya, ibuku sangat lihai ketika melakukan itung-itungan dengan koleganya (untuk tidak menyebutnya bakul-bakul panggon kulakan). 

Kepandaian dalam hitung-hitungan itu membuat ibuku sangat disiplin dalam keuangan. Berkali-kali ibuku memberi nasihat betapa pentingnya pengaturan ekonomi (Mungkin bahasa kerennya finacial education). Sejak aku dipercaya memegang uang, baik itu saku sekolah atau keperluan yang lain ibuku seringkali mewanti-wanti untuk dapat mengatur uang dengan baik.

Maka berkat itulah, aku percaya dapat sekolah setinggi ini berkat kemampuan ibuku dalam mengelola uang, sehingga cukup untuk semua kebutuhan keluarga. Mengingat keluargaku hanya berpenghasilan pas-pasan. Sungguh kekaguman yang selau ku sematkan pada ibuku dalam bidang keuangan ini. 

Meski tidak bergelar sarjana ekonomi, bagiku beliau adalah guru terbaikku dalam mengelola uang. Begitu juga dengan usaha kecil yang terus menghidupiku hingga sekarang, jika saja ibuku tak memiliki kemampuan dalam bidang dagang, barangkali sudah gulung tikar bertahun-tahun silam.

Ibuku juga mansia paling cerewet bagiku. Jika kalian tidak setuju ketika anak mengatakan ibunya cerewet  silakan. Tapi aku mengatakan ini bukan karena aku membenci kecerewetan ibuku. Meski aku kadang kesal dengan kecerewetannya, aku sadar bahwa itulah yang menjadikanku manusia disiplin, ulet dan gigih. Meski aku dididik dengan cara berbeda dari anak-anak yang lain, aku tetap memanen buah didikan itu berbeda pula dengan yang lain.

Ibuku, akan menjadi orang yang paling bangga kelak. Akan ku buatnya tersenyum lega. Bahwa apa yang ia perbuat  selama ini berhasil. Aku tak ingin mengacaukan rencana mulianya, yakni menyukseskan anak-anaknya.
 
Anak-anaknya ibuku yang sedang disukseskan.
Namun, suatu hari ketika aku akan berada pada posisi ibuku. Ada beberapa hal yang tak ingin kulakukan seperti yang beliau lakukan. Aku sudah belajar banyak dari beliau, aku sudah diberi bekal untuk mencari ilmu lebih banyak. Maka aku akan memperbaiki pendidikan seorang ibu untuk anak-anakku kelak.

Selamat Hari Ibu, maaf belum bisa menyatakan perasaan cintaku padamu.

1 Response to "Fakta-Fakta yang Tersimpan di Hari Ibu"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel