Menstruasi itu Bukan Aib


Dulu sewaktu saya baru saja mendapat menstruasi atau haidh untuk yang pertama kali, saya sering bertanya-tanya. Apakah perempuan lain juga merasakan hal yang sama dengan saya. Seperti merasakan pinggul nyeri, sakit perut, dan payudara yang terasa kencang dan sakit.

Belum terjawab pertanyaan-pertanyaan itu, justru saya mendengar berbagai larangan yang mestinya dihindari sewaktu menstruasi. Seperti tidak boleh minum es dan air soda karena nanti darah yang keluar semakin deras. Tidak boleh minum air degan karena bisa menimbulkan sakit pinggul berlebihan (Padahal saya sangat suka sekali dengan es degan).

Kemudian tidak boleh potong kuku dan keramas, dan larangan ini saya patuhi hingga waktu yang cukup lama. Padahal dalam kondisi menstruasi perempuan justru harus ekstra menjaga kebersihan. Makanya larangan untuk tidak keramas dan memotong kuku ini sebenernya kurang masuk akal.

Sampai yang paling ajaib adalah larangan tentang tidak bolehnya menyikat atau menginjak-injak pembalut sewaktu membersihkannya. Karena itu akan membuat perut menjadi lebih sakit. Tapi percaya atau tidak saya juga pernah mematuhi larangan ini. Jadi kalau mencuci pembalut benar-benar dikucek dengan tangan.

Belakangan saya mulai membaca dari berbagai literatur bahwa hal-hal tersebut di kalangan ilmuwan dikenal dengan menstrual taboo atau tabu menstruasi. 

Karena dibelahan masyarakat yang lain, perempuan-perempuan yang menstruasi juga harus mematuhi berbagai tradisi dan larangan. Tidak lain tidak bukan karena perempuan yang menstruasi dianggap kotor dan bahkan membawa energi negatif.

Di pedalaman Eropa hingga sekarang masih dipercaya bahwa tatapan mata perempuan yang sedang menstruasi dapat menimbulkan bencana atau kesialan. Di Mesir perempuan menstruasi harus menggunakan alas kaki dan gelang dikakinya karena dianggap kakinya akan mengotori tanah. 

Bahkan di beberapa daerah, perempuan menstruasi harus menggunakan sepatu besi yang berat supaya tidak dapat pergi sampai jauh.

Tabu menstruasi telah ada jauh sebelum peraturan agama itu ada. Masyarakat sudah menganggap peristiwa biologis perempuan ini sebagai sesuatu yang seharusnya disembunyikan.

Di India perempuan yang sedang menstruasi tidak diperkenankan tidur di dalam rumah. Dalam situasi yang seperti itu, perempuan akhirnya harus mengorbankan peran sosialnya. Tak heran jika kemudian ia jadi subjek ke dua dan posisinya akan selalu berada di bawah laki-laki.

Padahal secara sederhana darah menstruasi adalah kotoran akibat sel telur yang luruh karena tidak dibuahi. Tapi gejala reproduksi itu kemudian di multitafsir oleh kelompok masyarakat di berbagai belahan dunia. Sehingga munculah menstrual taboo yang berbeda antara satu dengan yang lain. Tapi intinya sama, bahwa perempuan yang sedang menstruasi harus diasingkan dan mengurangi peran sosialnya.

Saya jadi ingat cerita-cerita nenek tentang menstruasi. Mitosnya dulu perempuan yang menstruasi tidak diperkenankan ngerageni (memberi ragi) pada singkong atau ketan yang akan dibuat tape. Nanti bisa-bisa kecut. Kemudian zaman dulu perempuan menstruasi juga tidak boleh menyuci kedelai yang akan dijadikan tempe karena dikhawatirkan darahnya akan menetes sewaktu kakinya menggilas kedelai di sungai.

"Jadi kan zaman dahulu kalau menyuci kedelai untuk dijadikan tempe itu disungai. Dan cara menyuci nya di iles-iles aliyas diinjak-injak dengan posisi kedelainya terendam dengan air. Nah zaman dahulu kan belum ada celana dalam apalagi pembalut, makanya khawatir kalau nanti darahnya keluar dan netes di kedelai." Begitu kira-kira nenek saya bercerita dengan bahasa Jawa.

Sementara sekarang, zaman semakin modern dan peneliti menemukan berbagai alternatif untuk membantu proses fase reproduksi perempuan yang dialami setiap bulan. Ada pembalut dengan berbagai bentuk yang bervariasi. Mulai dari pembalut kapas, Kain, sampai yang berbentuk cup pun ada. 
Pembalut kapas

Menstrual cup
Credit foto: Pixabay.com
Sehingga sekarang perempuan tidak harus mengurangi peran sosialnya karena sedang menstruasi.

Tapi nyatanya menstruasi tetaplah hal tabu untuk diceritakan dan dibahas secara mendetail. Untuk mengatakannya secara terang-terangan saja masih begitu berat.

Misalnya menggunakan kata ganti 'datang bulan', 'tamu bulanan', PMS, 'On Period' dan lain sebagainya. Jangankan menstruasi untuk menyebut pembalutnya saja terasa begitu hina. Sampai harus ada istilah 'roti tawar', 'roti jepang', 'ganjel' dan lain sebagainya.

Padahal menstruasi itu bukan suatu keanehan atau aib yang harus disembunyikan. Tidak sedikit siswi merasa malu dan tidak percaya diri datang ke sekolah ketika dirinya sedang menstruasi.

Khawatir kalau sampai tembus dan bercak merah itu terlihat di rok bagian belakang akan mengundang bulan-bulanan kawan-kawannya terutama yang laki-laki.

Seharusnya masyarakat semakin mengedukasi diri bahwa menstruasi bukan hal aneh yang patut dijadikan olok-olok. Tapi sebaliknya mendukung perempuan yang sedang menjalani fase biologis itu. Karena sebagian perempuan merasa tidak nyaman, nyeri, sakit dibagian badan tertentu dihari pertama.

Perlu adanya lingkungan yang tetap mendukung seperti tersedianya pembalut di UKS sekolah atau di Kantor. Sebagian besar perempuan akan merasakan sakit ketika menstruasi pada hari pertamanya. Maka lingkungan yang ramah dan memaklumi itu sangat dibutuhkan demi terciptanya keadilan proporsional.

Tidak ada pengasingan dan pengurangan peran sosial perempuan terhadap segala aspek biologis yang dibawanya. Semoga semakin banyak orang-orang, terutama laki-laki yang sadar dan peduli terhadap fase biologis perempuan. Supaya dapat mewujudkan dan mempertimbangkan sesuatu dengan memperhatikan aspek-aspek yang dialami perempuan.

0 Response to "Menstruasi itu Bukan Aib"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel