Benarkah Perempuan Boleh Ngapain Aja Asal Ingat Kodrat?

 “Ya istri boleh aja kerja, asal ingat kodratnya lah sebagai perempuan.”

Barangkali kita pernah atau bahkan sering mendengar kalimat seperti itu. Baik diucapkan oleh seorang laki-laki maupun perempuan. Rasanya kita memang perlu mendefinisikan kembali soal apa itu kodrat dan kebiasaan yang diproduksi oleh budaya.

Kodrat merupakan sesuatu yang datang dari Allah, ia bersifat bawaan yang tak dapat diubah. Misalnya perempuan memiliki vagina dan payudara. Kemudian laki-laki memiliki penis. Perempuan mengalami menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyususi, tapi laki-laki tidak bisa mengalami semua itu. Itulah yang disebut kodrat, bawaan dari sang Maha Pencipta yang tak dapat diubah.

Perempuan di seluruh muka bumi apapun suku dan warna kulitnya memiliki ciri dan pengalaman biologis yang sama. Maka kodrat merupakan sesuatu yang sifatnya biologis, bawaan dan tidak dapat diubah.

Kemudian, bagaimana soal kodrat perempuan yang harusnya di rumah? Kodrat perempuan memang harus melayani suaminya. Kodrat perempuan yang boleh bekerja asal ia bisa mengurus anak dan domestik. mengapa kewajiban dasar seperti bersih-bersih, memasak, dan mengurus anak menjadi beban perempuan sepenuhnya?

Padahal jika seorang laki-laki dan perempuan masih lajang, mereka akan menyelesaikan tugas itu sendiri. Tapi setelah menikah tugas-tugas domestik dilimpahkan kepada perempuan saja. Maka sebetulnya, persoalan dasar seperti bersih-bersih, memasak, dan mengurus anak adalah kewajiban bersama. Pembagian Peran ini dibentuk oleh budaya dan kebiasaan. Oleh karenanya ia dapat berubah sesuai dengan kemasalahatan yang dikehendaki.

Adanya kerjasama berupa pembagian tugas awalnya bertujuan agar semua berjalan dengan efektif dan efisien. Tapi pada praktiknya justru perempuan mengalami beban ganda.

Misalnya pada kasus keluarga dengan keterbatasan ekonomi. Penghasilan laki-laki atau suami belum mencukupi kebutuhan keluarga. Kemudian istri membantu bekerja agar kebutuhan keluarga tercukupi. Tapi kemudian, konsep kerjasama tadi sudah membentuk citra kuat soal pekerjaan rumah atau domestik ya mestinya diselesaikan oleh perempuan.

Mari kita refleksi kembali tentang kodrat ini. Apakah di belahan bumi lain perempuan hanya boleh bekerja asal ia membereskan pekerjaan domestiknya. Tentu saja tidak, oleh sebab itu kata kodrat seharusnya dipahami sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah bukan dilekatkan pada peran yang dibentuk oleh kebiasaan atau budaya.

Jika seorang perempuan merasa mulia kemudian memutuskan untuk di rumah saja setelah menikah ya bukan masalah. Asal itu tidak mengganggu dirinya pun juga ekonomi keluarga tercukupi dari penghasilan laki-laki saja.

Tapi jika perempuan menginginkan aktivitas di ranah publik, maka konsep kesalingan akan menjadi jalan yang adil bagi laki-laki dan perempuan yang menikah. Saling bekerja di ranah publik dan saling membantu diranah domestik. saling berbagi tugas mengurus anak dan saling mendukung untuk kesuksesan karir satu sama lain.

Tulisan ini berusaha menjelaskan soal konsep kodrat yang sering dijadikan senjata untuk memperdayai perempuan. Seringkali, jika perempuan ingin bekerja ia merasa ciut jika dihadapkan dengan kata “Kodrat.” Seolah-olah pembagian peran itu merupakan hal yang rigid dan perempuan tak boleh menyalahinya.

Saya yakin masi banyak perempuan yang beranggapan demikian. Entah nyaman atau tidak, banyak teman perempuan saya yang sewaktu kuliah terlihat sangat potensial dan cerdas tapi setelah menikah ia ditelan kata kodrat. Padahal dunia ini sangat membutuhkan orang-orang cerdas dan potensial untuk melakukan perubahan dan mengatasi berbagai masalah.

Maka dari itu, ayo kawan-kawan, mari kita sadar bersama bahwa laki-laki dan perempuan adalah manusia seutuhnya. Tidak ada yang lebih tinggi satu sama lain. Kita akan kuat jika bergandengan tangan lalu melakukan kesalingan dalam berbagai macam hal.

Salam sayang...


10 Responses to "Benarkah Perempuan Boleh Ngapain Aja Asal Ingat Kodrat?"

  1. hehe kodrat itu sifatnya biologis, bawaan dan tidak dapat diubah kak. kalau mengurus keluarga dalam hal domestik itu adalah peran yang dapat diubah dan disesuaikan.

    ReplyDelete
  2. Kewarasan berpikir menjadi penunjang utama dalam hubungan. Kebanyakan mereka memilih menahan diri dalam menutupi kekurangan. Tak banyak orang jujur, berani terus terang perihal keterbatasan diri. Padahal, kesempurnaan cinta ada saat keduanya benar2 siap menerima segala hal dari pasangannya, terlebih kekurangannya. Pada intinya, adanya fatalitas dalam rumah tangga terjadi lantaran pasangan laki-laki belum 'siap' terhadap segala konsep-queen.
    Karena pada hakikatnya, laki-laki selalu salah di mata perempuan. 😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete
    2. Kerap kali dalam hubungan, laki-laki merasa superior karena menyandang posisi pemimpin rumah tangga. Dari situ muncul asumsi bawahan tidak boleh melampaui posisinya.

      Kenapa bisa terjadi kesenjangan? Menurutku, karena ada sisi ekspetasi yang tidak mampu terpenuhi, bisa dibilang itu bagian dari kekurangan lakinya juga sih..

      Solusinya, ya harus saling menghargai pasangan mulai dari pekerjaan dan sama-sama open minded. Benar gak sih, Hahaha... gitu kali ya..

      Delete
    3. Nah betul, adanya asumsi dan ekspektasi itu juga dipengaruhi oleh budaya dan kebiasaan. Makanya alam bawah sadarnya udah langsung berintuisi wah perempuan semestinya begini dan laki-laki begitu.

      Benar sekalu kalau sebagai pasangan itu saling menghargai dan punya pemikiran terbuka.

      Delete
  3. Kodrat perempuan itu : datang bulan, mengandung, melahirkan dan menyusui. Mengurus sumur dapur kasur itu merupakan kewajiban di dalam keluarga, sifatnya tidak mengikat tapi saling membahu. Baginda Rasulullah bahkan ikut melakukan pekerjaan rumah seperti mengambil air, menjahit sorban mencuci dll. Beliau juga tak pernah melarang Ummi Khadijah bekerja(berdagang). Nice artikel sista, bravo.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah keren banget ini contohnya, Baginda Rasulullah saja tidak saklek soal peran-peran domestik. Ia bahkan tidak minta dilayani seperti raja. Tauladan inilah yang semestinya menjadi fokus kita. Thanks for your comment bro.

      Delete
  4. hmm menurutku masing2 orang punya kebebasan untuk berbuat hanya saja yang membatasi kita ya preferensi moral yan kita pegang dan kita pijak, entah itu adat, budaya, agama, dan dimana kita berada ya harus bisa taat hukum atau terima konsekuensinya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul. Makanya kenapa hal2 yg menjadi kebudayaan dan kebiasaan dalam waktu yang lama akan menjadi begitu kuat untuk dipatahkan.

      Delete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel