In Memoriam (Hifni Septina Carolina)
Setelah kepergianmu yang mengagetkan itu. Rasanya aku tidak punya apapun yang bisa kuberikan. Selain tulisan untuk mengenang seluruh kebaikanmu. Bu, rasa kegetku mendengar kepergianmu itu boleh jadi adalah rasa bersalah terbesarku.
Mungkin kurang lebih dua tahun, kita tak bersua atau bertegur sapa. Entah kenapa jarak membentang, pasca aku mangkir dari grup wasap kita. Ketika itu ada rasa gundah yang tak tertahan. Mungkin tentang emosiku yang tak terkendali. Dan sepertinya terakhir kita bertemu adalah waktu dirimu dan teman-teman WES datang menjengukku setelah aku keguguran awal tahun 2023.
Menatap sore di tengah-tengah pekarangan jagung tempatmu disemayamkan itu, aku mencoba memutar ratusan memori bagaimana aku mulai mengenalmu. Aku ingat kita bertemu pertama kali waktu Bapak dan mahasiswanya membuat acara nobar film atau diskusi di perpustakaan IAIN lantai 1. Aku bahkan tidak ingat film atau diskusi tentang apa. Tapi aku ingat pertemuan denganmu. Ingat sekali dirimu datang dengan beat karbu-mu yang warna putih itu.
Pertemuan kita selanjutnya adalah ketika aku datang bersama teman-teman Kronika ke kediamanmu. Ketika itu Ibu dan Bapak masih ngontrak di daerah yang sekarang bernama Kampung Pengangguran. Seingatku, itu momen idul Adha, dan kalian mempersilakan kami mencoba bakso buatanmu.
Waktu berlalu, ada banyak cerita yang membuat kita jadi sering bertemu. Dirimu sering mention Instragramku. Kita bertemu hampir tiap Minggu. Kita bercerita, entah sebanyak apa. Hingga suatu ketika, aku sedang membantu adikku untuk menyiapkan berkas beasiswa. Sebenarnya berkas itu seharusnya tidak lolos, tapi berkat dirimu. Adikku mendapatkan beasiswa selama 4 tahun semasa kuliahnya.
Aku menamai kesedihanku atas kepergian mu sebagai rasa bersalah. Rasa bersalah karena pernah mengabaikan permintaan tolongmu. Rasa bersalah karena tidak menemuimu selama kurang lebih dua tahun. Aku sempat membatasi duniaku karena kesedihanku sendiri.
Setelah aku tahu bahwa penyakit itu telah menemanimu selama kurang lebih tiga tahun, hatiku makin sesak. Bagaimana bisa dirimu setenang itu? Bagaimana bisa semua kau tutupi dengan rapat sempurna. Benar kata orang-orang, Ibu dan Bapak tidak hidup untuk dirinya sendiri. Benar kata Bang Rahmat, bahwa kalian berdua mewakafkan hidup kalian untuk umat.
Pertanyaan tentang bagaimana bisa? Dan perasaanku yang kaget itu boleh jadi tanda aku tak lagi cukup dekat denganmu. Atau boleh jadi dirimu telah mendapat cukup perhatian dari orang-orang yang lebih menyayangimu. Aku makin, paham betapa banyak orang yang kagum dan menyayangimu. Sebab apa? Sebab cinta yang kau tebarkan juga terlampau banyak.
Untuk mendefinisikan sebuah kedekatan diantara kita boleh jadi memang tidak sedekat itu. Tapi aku kesal, kenapa kepergianmu sungguh membuat hatiku kosong. Sudah dua puluh empat jam sejak aku mengantarkan ke peristirahatan terakhirmu tanpa kata perpisahan. Tapi pikiranku masih dipenuhi dengan pertanyaan "...jadi aku nggak bisa ketemu ibu lagi ya? jadi aku gabisa liat ibu bicara tentang isu-isu gender, lingkungan, pendidikan lagi ya?"
Aku kembali berkontemplasi, bagaimana mulanya aku begitu suka dengan isu lingkungan dan kesetaraan gender? Bukankan ibu lah yang pertama kali meracuninya? Pertanyaan itu mengantarkan aku pada kesadaran bahwa kepergianmu sangat mengagumkan. Kepergianmu meninggalkan banyak warisan tak ternilai bagi banyak orang.
Tentang ketenangan dan kesederhanaan yang melekat pada dirimu. Justru jadi kesan paling mewah yang tertinggal di palung hati banyak orang.
Aku bersaksi, Ibu Hifni Septina Carolina adalah orang baik. Husnul Khotimah ya Bu.
0 Response to "In Memoriam (Hifni Septina Carolina)"
Post a Comment