Cerita Mufi : Bisa Memanggil Bunda
Tuesday, August 12, 2025
Add Comment
Tepatnya kemarin sore, saat Mufi sedang naik sepeda didorong Mbahnya, dia berteriak "ndaaaa" karena aku pergi ke dalam untuk mengambil jilbab. Rasanya bahagia, lucu dan hangat. Ketika aku menceritakan ini kepada suamiku, dia tertawa mengejek. "Ada yang seneng dek.." katanya.
Memang senang rasanya, mengingat aku pernah memaksa Mufi untuk mengucapkan bunda. Dengan cara aku mengucapkan "Bun" dan memintanya meneruskan menjadi "nda," dengan menyamakan ujung kata "kuda." Aku tertawa geli mengingat itu. Aku pernah merasa sedikit kesal dan meminta suamiku untuk sering-sering memanggilku bunda supaya Mufi jadi mengikutinya.
Karena, aku merasa Mufi yang sangat cepat mengucapkan kata "Ayah" itu karena aku sering memanggil suamiku (bahasa jawanya mbahasake) dengan "Ayah."
Sebenarnya fenomena seperti ini bukan terjadi padaku saja. Banyak ibu di luar sana mengalaminya. Karena lebih banyak ibu yang berbicara dan membahasakan panggilan pada orang-orang sekitar selain dirinya. Ini jadi pertanda bahwa sudah semestinya kerja-kerja perawatan dan pendidikan anak memang harus dilakukan berdua secara seimbang. Seperti yang aku minta pada suamiku tadi.
Aku yakin, masih banyak banget suami yang cenderung mengabaikan hal semacam ini. Memang remeh banget sih. Tapi sebenarnya penting banget. Bagaimana suami memperlakukan istrinya adalah contoh sikap bagi anak ke ibunya. Banyak banget pakar parenting yang bilang kalau suami memang harus menghormati dan menyayangi istrinya di depan anak-anaknya. Supaya itu jadi teladan bagi anak-anaknya.
Tapi aku sendiri masih terus optimis, bahwa masih banyak juga laki-laki yang mau belajar, berbenah dan diajak kompromi. Terkait pengasuhan, pembagian peran, dan kolaborasi lain dalam keluarganya. Aku sendiri sangat bersyukur punya suami yang sangat berbesar hati dan mau diajak kompromi apa saja. Walaupun aku sering merasa "Aku keterlaluan nggak sih..." Apalagi ketika aku melihat laki-laki yang seumuran suamiku kayaknya nggak terlalu banyak terlibat dalam kerja-kerja pengasuhan anak.
Mungkin karena naluriku masih terbelenggu pada konsep budaya patriarki. Sehingga rasa bersalah itu kerap muncul. Padahal pembagian peran semacam itulah yang sebenarnya ideal. Karena mendukung perempuan supaya bisa lebih berdaya, memaksimalkan potensi dan tidak kehilangan dirinya setelah punya anak. Setidaknya itu yang aku rasakan.
Sekarang Mufi sudah 16 bulan. Aku sendiri jarang sekali membaca buku KIA yang warna pink untuk memeriksa tangga pertumbuhan. Tapi melihat dia sudah sangat cerewet, tantrum, berteriak memanggil ayahnya, pandai meniru apapun yang dilihatnya. Semoga dia berkembang dan bertumbuh dengan baik.
Masih teringat, lagu Iwan Fals yang sering kuputar untuknya "....cepatlah besar matahariku, menangis yang keras janganlah ragu..." Karena aku berharap Mufi segera tumbuh besar. Kalau mungkin orang tua lain, kadang merasa 'getun' dengan mengatakan "kok cepet banget sih besarnya dek?" Aku malah sangat berharap Mufi cepat besar.
Bukan karena tidak ingin menikmati momen bersama dia yang sedang lucu-lucunya. Mungkin karena aku bukan orang yang telaten. Jujur sekali, aku menyadari bahwa aku adalah ibu yang galak. Entah segalak apa. Tapi aku merasa aku galak. Aku merasa sangat tidak telaten mengasuh anakku. Aku merasa suamiku lebih telaten mengasuh anak. *Apa mungkin karena dia mengasuh hanya waktu weekend saja? Ah entahlah.
Sebagai ibu yang cukup galak, tentu aku menginginkan agar Mufi cepat besar. Cepat mengerti arahan. Supaya aku bisa memberikan nasihat-nasihat tentang kejamnya dunia ini hahahaha. Baiklah mungkin tulisan ini terlalu ngalor ngidul. Awalnya pengen buat tulisan reflektif tentang pertumbuhan anak. Tapi malah jadinya begini. Yasudah. Terima kasih sudah membaca yaa! :)
0 Response to "Cerita Mufi : Bisa Memanggil Bunda"
Post a Comment