Belajar Berdaya dari Gerakan Sabuk Hijau Wangari Maathai

Gerakan Sabuk Hijau adalah organisasi non pemerintah di tingkat akar rumput yang berfokus pada pelestarian dan pembangunan lingkungan. GSH melakukan kegiatannya sebagian besar melalui kampanye nasional.

Gerakan ini diinisiasi oleh perempuan asal Kenya bernama Wangari Maathai. Seorang perempuan yang besar pada desa Kikuyu di Negara Kenya pada tahun 1940-an. Ia belajar segala hal tanpa gawai maupun buku tapi dengan aneka ragam hayati  yang ada di sekitar tempat tinggalnya.

Upayanya dalam menggagas gerakan sabuk hijau ini telah melewati banyak terjal, dipenjara, diasingkan, dicemooh bahkan diceraikan oleh suaminya karena dianggap  terlampau keras kepala dan tidak bias diatur. Ia yang pada tahun 2004 menerima hadiah Nobel Perdamaian itu akhirnya menjadi perempuan yang dikenang lebih lama dan lebih luas oleh orang-orang di dunia atas apa yang telah ia perjuangkan.

Pada buku ini, ia menceritakan lika-liku gerakan lingkungan yang melibatkan perempuan-perempuan akar rumput. Bermula dari perjalanan hidupnya sebagai dokter hewan di daerah-daerah miskin Kenya, ia menjumpai berbagai hal menyedihkan, kerusakan lingkungan dan tekanan yang diakibatkan pada kaum perempuan yang menghasilkan sebagian besar bahan pangan.

Hutan-hutan digunduli untuk dijadikan perkebunan komersial. Sebagai akibatnya, kekeringan yang bertambah parah, hilangnya keanekaragaman hayati, dan melonjaknya angka kemiskinan. Hal-hal tersebut yang ia saksikan, menjadikannya bertekad untuk menumpas akar-akar yang saling terkait antara penyebab kemiskinan dan kerusakan lingkungan.

Wangari Maathai adalah potret perempuan berdaya yang berjuang berdasarkan panggilan nurani yang bahkan mengorbankan kehidupan pribadinya. Ia mendobrak paham patriarchal masyarakat Kenya, bahwa perempuan Afrika harus menjadi perempuan baik-baik, artinya ia harus pemalu, penyegan, patuh, tak mampu, dan sangat bergantung. Seorang perempuan Afrika yang independen dan berpendidikan tinggi dipandang dominan, agresif, dan berpengaruh buruk.

Awalnya, aktivitas penanaman pohon Gerakan Sabuk Hijau tidak menyentuh isu-isu demokrasi dan perdamaian. Namun, seiring berjalannya waktu Wangari menyadari bahwa pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab mustahil tanpa dibukanya ruang-ruang demokratis. Pohon pun menjadi lambang perjuangan demokrasi di Kenya dan sebuah cara untuk menantang penyalahgunaan kekuasaan yang meluas, korupsi serta mismanajemen lingkungan hidup.

Sebenarnya, hal ini sangat relate dengan keadaan Indonesia sekarang. Aktivitas eksploitasi alam yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar milik elite politik sebetulnya racun yang begitu berbahaya. Saat ini boleh dibilang, Indonesia membutuhkan sosok-sosok seperti Wangari Maathai.

Masyarakat akar rumput perlu bersatu dan berpihak pada lingkungan, bukan tergoda dengan janji-janji elite politik dan kemudian terlena ketika mereka berselingkuh dengan pelaku usaha yang mengancam lingkungan. Apalagi sampai jadi brand ambassador-nya. Sebab kegiatan seperti itu adalah upaya memperkaya para elite dan masyarakat akan terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan.

Sudah selayaknya predator tidak diberi ampun, sekalipun dalam masa-masa pemilukada yang bersikap seperti layaknya malaikat. Mereka-mereka yang egois itu tidak akan pernah menjadikan kita setara semuanya, bisa kita pastikan kemiskinan dan kekayaan akan jomplang sejauh-jauhnya.

Buku setebal 136 ini, memberikan gambaran umum dan tahapan-tahapan gerakan penanaman pohon yang dilakukan perempuan Kenya. Cukup detail menjelaskan sebuah gerakan, untuk nantinya dapat direplikasi di tempat lain. Sebut saja penentuan sasaran, nilai dan pengorganisasian semuanya dibahas dalam buku ini. Berbagai kendala juga diceritakan sebagai evaluasi dan pembelajaran gerakan ekologi.

Gerakan Sabuk Hijau memiliki pendukung di tingkat akar rumput, sebagian besarnya petani. Dua hal yang menjadi alasannya adalah, pertama kondisi perekonomian Kenya secara mayoritas berada di sector pertanian. Kedua, mudah bagi petani melakukan aktivitas-aktivitas Sabuk Hijau karena mereka bekerja mengolah tanah lebih sering ketimbang tinggal di pusat kota. Oleh karena itu, banyak pencapaian GSH terjadi di daerah pedesaan melalui para petani. Di pusat-pusat kota, inisiatif GSH lebih terfokus pada advokasi terutaman melawan privatisasi ruang public dan hutan.

Pada pidatonya ketika menerima Hadiah Nobel Perdamaian Wangari Maathai menyebutkan, sesungguhnya ia hendak menjawab kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi oleh perempuan desa, seperti tiadanya kayu bakar, air bersih untuk minum, asupan makanan yang seimbang, perumahan dan pendapatan.

Perempuan adalah pengurus rumah tangga, yang bertanggungjawab mengolah lahan dan member makan keluarga. Seringkali mereka menjadi orang pertama yang menyadari kerusakan lingkungan ketika sumber daya semakin langka dan mereka tidak lagi mampu menopang kebutuhan keluargaa mereka.

“Kondisi ini disebabkan oleh degradasi lingkungan sekitar dan juga karena diterapkannya pertanian komersial yang menggantikan pertanian tanaman skala rumah tangga. Namun, harga ekspor produk kaum petani kecil ini dikontrol oleh rezim perdagangan internasional, sehingga pendapatan yang adil dan masuk akal tidak akan bisa mereka peroleh. Saya jadi mengerti bahwa ketika lingkungan rusak, dijarah atau salah dikelola, kita sedang menggerogoti kualitas hidup kita sendiri dan generasi mendatang. Oleh karena itu penanaman pohon menjadi pilihan masuk akal untuk memenuhi kebutuhan dasar perempuan ini.” Kata Wangari pada pidatonya.

Pesan-pesan Wangari Maathai sarat akan perenungan dan nilai-nilai luhur untuk kita aplikasikan sekarang. Dimanapun berada, sadarkah kita bahwa hidup ini terus bergantung pada alam. Tapi secara membabi buta, kita merusaknya dan tanpa sedikitpun merasa bersalah kita mengabaikan keberlanjutan hidupnya.

Satu lagi pesan Wangari Maathai yang menurut saya paling keren dan akan menutup tulisan tentang buku Gerakan Sabuk Hijau ini.

“Saat ini kita dihadapkan pada tantangan yang menghendaki perubahan cara berpikir kita, agar manusia berhenti mengancam sistem penopang kehidupannya. Kita dipanggil untuk membantu Bumi memulihkan luka-lukanya dan dalam prose situ, kita pulihkan luka-luka kita sendiri, dan tentunya, untuk merangkul seluruh ciptaan dalam segenap keragaman, keindahan, dan keajaibannya."

Entah ini resume, refleksi, atau apapun itu terserah kalian akan menyebut sebagai apa. Tapi yang jelas saya sangat menyukai buku ini. Buku penuh inspirasi. Terima Kasih guru saya yang menghadiahkan buku ini, Terima Kasih Wangari Maathai telah berbagi pengalaman dan nilai yang tak pernah ternilai.

Judul Buku          : Gerakan Sabuk Hijau

Penulis                 : Wangari Maathai

Penerbit              : Marjin Kiri

Tahun Terbit      : 2012

Tebal                     : 136 halaman

 

0 Response to "Belajar Berdaya dari Gerakan Sabuk Hijau Wangari Maathai"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel