Film The True Cost: Membongkar Sisi Gelap Industri Fashion


Komunitas Women and Environment Studies (WES) Payungi yang saya ikuti mengadakan nobar film dokumenter The True Cost. Film berdurasi 92 menit ini berkisah tentang sisi gelap industri fashion yang mungkin belum kita ketahui.

Film The True Cost dirilis pada tahun 2015 yang disutradarai oleh Andrew Morgan. Lewat film ini Andrew Morgan ingin mengisahkan asal muasal pakaian kita, dampak psikologis dari sebuah industri pakaian berupa keserakahan dan ketakutan. Serangkaian permasalahan kompleks yang menggambarkan banyak tangan dan hati dibalik pakaian yang kita kenakan.

Sebelum meneruskan tulisan ini, mungkin saya ingin bertanya kepada teman-teman. Kapan terakhir kali membeli baju? Berapa kali dalam setahun kita membeli pakaian? Apakah kita merasa tidak percaya diri jika selalu mengenakan pakaian yang sama? Dan Tahukah kalian bagaimana pakaian kita diproduksi?

Mungkin, saya juga tidak pernah terpikirkan tentang dari mana asal muasal pakaian yang saya kenakan setiap hari, jika tidak menonton Film The True Cost ini. The True Cost bercerita tentang bagaimana kapas yang akan menjadi kain itu tumbuh di hamparan ladang yang luas. Bagaimana produksi pakaian yang dilakukan di negara-negara berkembang dengan memberikan upah kecil kepada para pekerjanya.

Belum lagi limbah yang dihasilkan dari produksi pakaian yang sangat banyak. Akhirnya mencemari lingkungan negara tempat pakaian-pakaian itu diproduksi. Sehingga berdampak langsung pada kehidupan sekitar pabrik garmen. Udara yang memburuk akibat banyaknya sampah kain dan menghasilkan gas beracun. Belum lagi air yang tercemar dan menimbulkan berbagai penyakit bagi yang mengonsumsinya.

Lewat Film The True Cost kita akan menyaksikan keegoisan orang-orang pintar yang berusaha meraup untung sebesar-besarnya tanpa mempedulikan dampak buruk dari industri fashion yang menimpa warga lokal. Mulai dari rekayasa genetika, narkotika ekologi, sampai polusi terbesar di dunia.

Menonton film ini membuat saya semakin memahami bagaimana sistem kapitalisme bekerja dan memanipulasi manusia. Seringkali kebahagiaan kita digantungkan dengan benda-benda yang kita inginkan dan kita beli. Seringkali, kita termakan materi promosi seolah-olah untuk mengatasi segala permasalahan hidup adalah dengan mengkonsumsi.

Makanya, kita jadi punya anggapan bahwa mungkin dengan punya pakaian yang selalu mengikuti trend akan selalu menambah kebahagiaan dalam hidup kita. Padahal, terkadang rasa bahagia itu hanya bersifat sementara. Dari sekian banyak pakaian yang kita miliki, mungkin hanya beberapa buah saja yang benar-benar kita sukai dalam waktu yang lama.

The True Cost juga mengantarkan kita pada perspektif baru tentang industri fashion instan. Hari ini kita menikmati pakaian dengan harga yang sangat terjangkau dari masa-masa sebelumnya. Mari kita bandingkan, orang dahulu menganggap harga pakaian relatif mahal, akibatnya mereka tidak memiliki banyak pakaian ganti.

Mereka juga sering mewariskan pakaian kepada orang lain agar lebih hemat. Karena pada saat itu pakaian diproduksi dengan bahan-bahan alami dan manual. Sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menghasilkan pakaian. Tidak heran jika harganya pun relatif mahal.

Berbeda dengan sekarang, adanya kemajuan teknologi membuat produksi pakaian bisa dilakukan dengan lebih cepat menggunakan mesin. Bahan-bahan yang digunakan pun ada yang dari kimia bukan lagi bahan alami. Makanya hanya memerlukan waktu yang relatif singkat untuk memproduksi pakaian. Sehingga harga pakaian menjadi relatif murah.

Harga yang relatif murah inilah yang mengakibatkan kita terus membeli pakaian dengan kualitas yang kurang baik. Sehingga pakaian kita jadi tidak awet lagi. Sementara trend fashion juga berganti dalam kurun waktu yang relatif singkat. Akibatnya, sampah dari industri fashion mengalami peningkatan yang signifikan.

Sampai limbah dan sampah fashion menjadi polusi terbesar kedua di dunia. Kita perlu membuka mata terhadap fakta ini. Kemudahan yang kita rasakan dalam kemajuan industri fashion nyatanya tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan.

Selalu ada harga yang dibayar untuk setiap hal-hal yang instan. Makanya fast fashion juga memberikan banyak dampak buruk terutama untuk masyarakat di sekitar pabrik garmen. Ada satu adegan di Film The True Cost ini yang membuat saya melinangkan air mata.

Saat seorang ibu rela hidup terpisah dengan anaknya karena dia harus bekerja di pabrik garmen yang penuh polusi. "Tidak apa jika Nadia memiliki ibu seorang pekerja garmen, asalkan saya dapat mengupayakan pendidikan yang baik untuk Nadia, agar ketika dewasa Nadia tidak menjadi pekerja garmen seperti ibunya."

Kesejahteraan dan bahkannyawa para pekerja garmen inilah yang membayar harga untuk setiap fast fashion yang kita nikmati. Untuk setiap harga pakaian yang murah, ternyata ada pekerja yang dibayar dengan sangat rendah bahkan sampai harus mengorbankan nyawanya.

Apakah kita tega melakukan itu secara terus menerus?

Jika kita tidak berhenti menikmati fast fashion maka perbudakan pekerja garmen ini akan terus berlanjut. Jika kita masih menaruh peduli pada mereka, maka sebaiknya kita merasa cukup dengan beberapa helai pakaian yang kita miliki sekarang.

Berhenti menggantungkan kebahagiaan kita pada benda-benda yang akan berakhir ke tempat sampah dan menjadi limbah. Tidak perlu malu menggunakan pakaian yang itu-itu saja karena itu pertanda kita sangat peduli dengan industri fashion yang makin mengkhawatirkan.

Justru seharusnya kita malu karena gagal menahan diri dan ikut termanipulasi oleh iklan-iklan yang menyebabkan kita semakin konsumtif setiap hari. Siapkah kita untuk diet berbelanja pakaian? Berikan tanggapan kalian di kolom komentar ya.

15 Responses to "Film The True Cost: Membongkar Sisi Gelap Industri Fashion"

  1. Setelah Saya baca artikel diatas, Saya mempunyai sudut pandang yang berbeda, yaitu dengan adanya pabrik atau adanya trend fashion, justru dapat membuat lapangan kerja semakin luas. Untuk perihal gaji yang didapat, entah besar atau kecil, Saya gak bisa berkomentar sih. Hehehe

    Tapi, untuk persoalan limbah, seharusnya para produsen harus bisa menjaga dan merawat lingkungan.

    ReplyDelete
  2. duh jadi merasa bersalah nih karena minggu lalu baru beli pakaian, hiks. Walau bukan orang yang mengikuti trend, tapi dalam setahun saya bisa beberapa kali beli baju. Kayaknya kebiasaan ini mesti diubah nih, mending uangnya buat beli yang lain atau ditabung aja sekalian yaa

    ReplyDelete
  3. Fast Fashion dimana pakaian diproduksi secara massal yang membuat orang konsumtif jadi dilema sih. Saya pribadi sekarang kalau beli pakaian banyak pertimbangan. Tipsnya memilih pakaian sesuai kebutuhan dan berumur lebih panjang

    ReplyDelete
  4. Fast Fashion memberikan perspektif baru bagi saya. Ternyata dibalik kebahagiaan pakaian yang kita pakai ada banyak sisi gelap, murahnya harga buruh dan rusaknya lingkungan. Saya sudah merubah mindset utk beli baju baru sejak pensiun.

    ReplyDelete
  5. Kalo ga salah saya sempet liat cuplikan film True Cost ini tapi saya belum sempat nonton filmnya. Jujur saya merasa miris juga dengan tren fast fashion ini. Pakaian sengaja dibuat hanya sekadar mengikuti tren dan akhirnya menumpuk menjadi sampah. Saya juga perlahan mulai lebih bijak lagi dalam berbelanja pakaian, walaupun turning poinnya adalah ingin belajar hidup minimalis sama tertarik dengan zero waste dan ingin menerapkan capsule wardrobe

    ReplyDelete
  6. Untungnya saya (keluarga kami sih tepatnya) type yang gak begitu ngutamain pakaian. Yang penting bersih rapi, dan layak dipakai. Dan selama masih ada yang dipakai, pantes buat acara pertemuan pertemuan, ya gak beli dulu. Makasih banyak Kak infonya. Ijin share.

    ReplyDelete
  7. aku tipikal orang yang jarang membeli baju, bisa diaktakan bajuku sering itu2 saja. Karna aku lebih suka membelanjakan ke makanan dan prioritas yang lain. hiihi.

    ReplyDelete
  8. Untungnya saya tipikal orang yg tidak slalu membeli baju, cukup memakai pakaian yg ada tinggal pintar2nya kita memandupadankan pakaian sehingga slalu berbeda, wlupun memakai pakaian yg sama

    ReplyDelete
  9. Aku jarang banget malah beli baju, kalau kain etnik malah sering beli, karena memang koleksi, Sehari-hari cukup dasteran. Ini filmnya menarik buat ditonton nih mba

    ReplyDelete
  10. Industri fashion memang seperti memiliki dua sisi mata uang yang mana keduanya memiliki peran penting. Fast Fashion memang tidak baik untuk lingkungan, tapi baik untuk pembukaan banyak lapangan kerja. Sementara sustainable fashion juga belum bisa sepenuhnya menunjukkan dampak yang lebih baik bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Tapi latar film ini yang menggugah emosi bisa membangkitkan gairah untuk memperbaiki berbagai sistem di industri fashion.

    ReplyDelete
  11. Ga dimana-mana ya, setiap kerjaan pasti punya 2 sisi berbeda. Tinggal kita yang mau melihat dari sisi yang mana, dan pinter pinter ambil sisi positif nya

    ReplyDelete
  12. Nah iya ini jangan apa-apa kemakan iklan.
    Ceki-ceki aja dulu, memang apa yang dibutuhkan.
    Boleh juga ini filmnya buat disimak

    ReplyDelete
  13. wah bagus belum nonton aku. pernah juga tentang penjahit tapi mafia, terus ada lagi berkaitan dgn fashion tp hukum yg tajam kebawah

    ReplyDelete
  14. Aku yang termasuk jarang banget beli baju mba. Soalnya suka pusing malah kalau kebanyakan baju. Pusing beresinnya, jadinya suka declutter baju yang udah nggak dipakai tapi masih layak ke tetangga.

    Lebaran tahun ini pun baju yang dipakai sama dengan lebaran tahun kemarin. Ngeri ya mba sampah fashion tuh.

    ReplyDelete
  15. Pengen nonton film ini deh ka. Ini tuh nontonnya di mana? Download dari internet kah? Udah lama gak nonton film berat yg bahas kasus sosial gini

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel